Kamis, 03 Februari 2011

04 etika realisasi diri dan etika tasawufr

BAB IV

ETIKA REALISASI DIRI

DAN ETIKA TASAWUF AL-GHAZALI

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa pertanyaan utama dalam etika adalah apakah pada hakekatnya hidup yang baik itu? Tujuan akhir apa yang ingin dicapai? Dan sarana apa yang digunakan untuk mencapai tujuan akhir dimaksud? Di sini akan dikemukakan jawabannya dilihat dari sudut pandang etika realisasi diri dan etika tasawuf. Kedua jawaban tersebut dibandingkan sehingga dapat dilihat kelebihan dan kekurangannya.

A. Hidup yang Baik

Baik etika realisasi diri atau pun etika tasawuf akan menjawab bahwa hidup yang baik adalah hidup yang merealisasikan keutamaan individu, keutamaan sosial, dan keutamaan keagamaan. Dengan terealisasikannya ketiga aspek tersebut berarti tujuan hidup akan tercapai pula. Namun kalau ditelusuri lebih rinci ternyata kadar keutamaan yang dimaksud oleh keduanya sangat jauh berbeda.

1. Keutamaan Individu

Etika realisasi diri lebih menekankan keutamaan individu untuk keberhasilan duniawi. Kesederhanaan yang dikemukakan oleh etika realisasi diri adalah mampunya seseorang mengambil jalan tengah untuk mengendalikan dorongan instink dan tidak berbuat sesuatu secara berlebihan. Selain itu harus bijaksana dengan menjaga kesehatan, mengatur kesejahteraan, dan menjaga nama baik. Keberanian untuk berkorban secara fisik guna melindungi kepentingan masyarakat dan bangsa serta keberanian moral seperti bersifat jujur walaupun mengakibatkan penderitaan karena kejujurannya itu. Selain adanya idealisme untuk direalisasikan, seperti idealisme budaya dimana hasilnya adalah terdapatnya temuan-temuan intelektual, temuan dalam bidang teknik dan juga temuan tentang keindahan. Juga adanya idealisme prestasi dimana usaha yang dicapai adalah sesuai dengan bakatnya.

Dari uraian tersebut dapat dibayangkan bahwa dalam urusan keduniaan kemampuan individual sangat dibina sehingga akhirnya memperoleh prestasi yang menakjubkan berupa temuan-temuan di bidang intelektual, teknik dan keindahan. Namun dari situ juga timbul kesombongan ilmiah, kekaguman akan prestasi, dan tidak melakukan sesuatu karena Allah. Tidak ada pembinaan keagamaan dalam keutamaan individu karena ini adalah urusan pribadi yang bersangkutan.

Di lain pihak etika tasawuf menekankan keutamaan individu untuk keberhasilan hidup ukhrawi. Kebahagiaan duniawi dianggap kebahagiaan semu. Menurut al-Ghazali, dalam Mizan al-‘Amal, dan Ihya kebahagiaan itu dapat dicapai dengan mensucikan jiwa serta menyempurnakannya dengan cara mencapai keutamaan-keutamaan jiwa.

Secara umum keutamaan terdiri dari dua macam: kebaikan hati dan kebaikan budi pekerti. Dengan kebaikan hati dapat diketahui jalan kebahagiaan dan jalan kesengsaraan dan kemudian mengamalkan jalan kebahagiaan. Budi pekerti yang baik dapat dilakukan dengan menghilangkan kebiasaan yang buruk sesuai dengan petunjuk yang diberikan dalam agama. Keutamaan-keutamaan di bidang amal dapat tercapai dengan dua cara, yaitu: pendidikan termasuk latihan dan pembiasaan dan dengan kemurahan Ilahi seperti yang didapatkan oleh para Nabi.

Keutamaan kadang-kadang dapat dicapai secara tabiat dan pada lain keadaan dengan membiasakan sifat-sifat utama dan di lain kesempatan dengan cara belajar. Puncak keutamaan didapat bilamana seseorang dapat mencapai keutamaan dengan cara tersebut. Al-Ghazali mengemukakan pokok-pokok keutamaan, yaitu kebijaksanaan (hikmah), keberanian (syaja’ah), pemeliharaan diri (iffah), dan keseimbangan (‘adalah). Kebijaksanaan adalah keutamaan kekuatan akal, keberanian merupakan keutamaan kekuatan nafsu amarah, pemeliharaan diri adalah keutamaan kekuatan syahwat, dan keseimbangan ialah terjadinya tiga kekuatan itu secara teratur.

Beberapa sifat utama dari keutamaan hikmah adalah: pengaturan yang baik, kebaikan hati, kebersihan pemikiran, dan kebenaran perkiraan. Pengaturan yang baik lebih utama dalam mencapai kebaikan yang agung dan tujuan yang mulia. Kebaikan hati adalah kemampuan membenarkan hukum di waktu terjadi kekaburan pendapat dan terdapatnya perselisihan dalam pendapat tadi. Kebersihan pemikiran adalah kecepatan mengerti terhadap jalan yang menyampaikan akibat-akibat yang terpuji. Sedang kebenaran pikiran adalah sesuainya kebenaran pada hal-hal yang konkrit dengan yang terdapat dalam pikiran.

Sifat-sifat yang termasuk dalam keutamaan keberanian adalah murah hati, keberanian hati, besar hati, menanggung derita, tidak cepat marah, teguh hati, memandang mudah, bijaksana, dan sopan. Murah hati adalah sifat tengah-tengah dalam pengeluaran yang tidak sampai kepada pemborosan, keberanian hati adalah sifat pertengahan antara keberanian yang tidak sopan dengan kecewa. Besar hati adalah sifat tengah-tengah antara kesombongan dan kehinaan diri. Menanggung derita maksudnya dapat menahan diri atas datangnya hal-hal yang menyakitkan. Penyantun atau tidak cepat marah maksudnya adalah suatu keadaan yang membina nafsu untuk menjadi sopan. Teguh hati adalah kekuatan hati yang jauh dari kelemahan, bijaksana dimaksudkan semangat yang timbul untuk beramal karena mengharapkan sesuatu yang indah, memandang mudah adalah rasa senang hati terhadap perbuatan yang agung serta sopan maksudnya menempatkan diri pada tempat semestinya sesuai dengan kedudukannya. Sifat-sifat yang hina dilihat dari segi pandang keutamaan keberanian ini adalah melampaui batas dan pengecut, yang di dalamnya termasuk: pemborosan, sifat menghabis-habiskan, keberanian, tak sopan, merasa takut, bermegah-megah, menghinakan diri, keluh kesah, lekas marah, sombong, berbuat keji, ujub dan menjadi hina.

Sifat keutamaan iffah diantaranya adalah terdapatnya perasaan malu, sikap toleran, sabar, murah hati, baik sangka, kesenangan hati, kebaikan keinginan hati, teratur, sifat baik, merasa puas, tenang, menjauhi dosa, ramah, suka menolong, dan sikap manis. Sedangkan yang dianggap hina karena tidak sesuai dengan sifat iffah diantaranya adalah pelahap, kelemahan diri, tidak berperasaan malu, boros, tak mencukupi nafkah, riya, membuka cacat, main yang sia-sia, jahat perangai, hasud serta sikap mengecewakan.

Menurut al-Ghazali dalam Mizan al-‘Amal, ni’mat yang diberikan Allah kepada hambaNya sebenarnya tidak terhitung jumlahnya, namun dapat dibagi ke dalam lima macam, yaitu:

1. Ni’mat kebahagiaan akhirat, suatu kebahagiaan yang kekal abadi. Kebahagiaan ini tidak akan dapat tercapai kecuali dengan adanya ni’mat kedua.

2. Ni’mat keutamaan jiwa yang jumlahnya ada empat macam, yaitu akal yang disempurnakan dengan ilmu, pemeliharaan diri dengan menjauhi yang haram, syubhat dan ma’siat. Keberanian yang disempurnakan dengan kesungguhan dan keadilan yang dilaksanakan dengan rasa kesadaran. Ni’mat kedua ini tidak sempurna tanpa adanya ni’mat ketiga.

3. Ni’mat keutamaan badaniah yang terdiri dari empat macam, yaitu kesehatan, kekuatan badan, keelokan dan panjang umur. Ni’mat ini sempurna dengan adanya ni’mat keempat.

4. Ni’mat yang berupa harta, keluarga, kemuliaan, keluarga mulia. Ni’mat ini bisa sempurna kalau dilengkapi dengan ni’mat kelima.

5. Ni’mat keutamaan yang berupa hidayah Allah, pimpinan Allah, pembetulan Allah dan kekuatan dari Allah.

Sesuai dengan ni’mat kebahagiaan yang lima macam di atas maka kebajikan juga ada lima macam, yaitu kebajikan ukhrawiyah, kebajikan jiwa, kebajikan badaniah, kebajikan urusan luar, dan kebajikan taufiq yang berupa petunjuk, pimpinan, pembetulan dan penguatan dari Allah. Kebajikan taufiq maksudnya kehendak dan perbuatan manusia itu sesuai dengan keputusan dan taqdir Allah.

Ciri etika yang diutarakan dalam karya-karya periode sufi, dilihat dari segi praktis adalah untuk mempersiapkan dirinya agar terlepas dari hukuman dan guna mencapai kebahagiaan surga, atau untuk mencegah diabaikan oleh Allah dan demi mendapatkan keakraban denganNya. Dari segi intelektual adalah untuk menyampaikan pemikiran dan pengalamannya kepada orang lain sehingga mereka pun mungkin mencapai tujuan yang sama. Jadi perhatian utama hidup dan pemikirannya semasa periode sufi itu ialah kehidupan akhirat. Ini membuat etikanya bersifat religious dan sufis, tidak sama dengan etika sekuler yang terarah hanya kepada kesejahteraan manusia dalam hidup ini.[135]

Jangkauan etika al-Ghazali amat sangat luas dan ini adalah satu ciri khas etika sufi. Menurut al-Ghazali etika ialah pengkajian keyakinan religious tertentu, dan tentang kebenaran atau kesalahan dalam amal untuk diamalkan, dan bukan demi pengetahuan belaka. Pengkajian tentang amal mencakup pengkajian amal terhadap Allah, amal terhadap sesama manusia, dalam keluarga dan dalam masyarakat, mengenai penyucian jiwa dari kejahatan dan perihal memperindah jiwa dengan kebajikan.[136]

Etika al-Ghazali adalah individualistis dan teleologis. Al-Ghazali memisahkan politik dari etika berkenaan dengan sifat individualistis dari etikanya. Agama mengutamakan individu, karena jiwa perseoranganlah yang menentukan kelestarian pribadi. Orang melihat pada penampilan luar, sedangkan Allah melihat kepada jiwa, batin seseorang yang membawa kaum sufi, sehingga cenderung kepada etika yang individualistis dan mementingkan keutamaan individu. Etika jenis ini menggairahkan minat perorangan terhadap moralitas dengan tujuan pemurnian jiwa pribadi.[137] Etika al-Ghazali dapat juga dikatakan bercorak teleologis sebab ia menilai amal dengan mengacu kepada akibatnya. Etika ini mengajarkan bahwa manusia punya tujuan yang agung, yaitu kebahagiaan akhirat dan bahwa amal itu baik kalau ia menghasilkan pengaruh pada jiwa yang membuatnya menjurus ke tujuan tersebut. Dan dikatakan amal itu buruk, kalau menghalangi jiwa mencapai tujuan itu.[138]

Etika al-Ghazali berciri majemuk. Maksudnya paham moralnya diambil dari berbagai sumber, seperti dari tulisan para sufi, dari kitab-kitab suci, dari karya-karya filosofis tentang moral. Walaupun demikian unsur sufi tetap dominan dan karena itu teori etika al-Ghazali pada dasarnya tetap bersifat mistik.[139]

Dengan mengambil basis psikologis dari etikanya, al-Ghazali menyatakan bahwa esensi manusia itu adalah qalbu. Qalbu merupakan wujud spiritual yang terdapat dalam tubuh manusia dan berfungsi mengontrol tubuh manusia itu sendiri. Konsep tentang diri (self) dalam bahasa Arab bisa berarti qalb, ruh, nafs, atau aql dan al-Ghazali menyukai penggunaan istilah qalb untuk diri (self).[140]

Walaupun keutamaan individu sangat ditekankan dalam tasawuf namun kemampuan individu itu dibatasi kepada kemampuan yang menuju kehidupan yang akan datang atau kehidupan akhirat. Dunia sebagai ladang menuju akhirat tidak terlaksana dalam tasawuf karena urusan duniawi menyebabkan orang lupa kepada Allah. Karena itu kemampuan intelektual untuk mendapatkan prestasi duniawi menjadi kurang diperhatikan. Meskipun orang tasawuf memperhatikan masalah ekonomi dan teknologi, misalnya, namun perhatian itu hanya sekedar melancarkan jalan untuk kepentingan tujuan ukhrawi. Pergi haji dengan pesawat terbang namun tidak ada yang mengkhususkan keahliannya untuk menguasai teknologi ini. Demikian juga dengan masalah ekonomi, tidak terdapat ekonom dari kalangan sufi. Menjadi fakir lebih baik daripada menjadi kaya. Dari sini nampak bahwa dalam etika sufi kemampuan individual yang ditujukan kepada urusan duniawi tidak dikembangkan. Arah kemampuan individual ditujukan kepada pengabdian diri kepada Allah Swt.

Ini disebabkan al-Ghazali lebih memperhatikan masalah qalbu manusia. Qalbu diarahkan untuk mengetahui dan mendapatkan ilmu yang diberikan Allah secara langsung. Untuk itu qalbu harus dibersihkan dari perbuatan yang merusak (al-muhlikāt) diisi dengan zikir serta melaksanakan perbuatan yang menyelamatkan (al-mumjiyāt). Untuk menjadikan qalbu ini bersih seperti cermin yang bisa memantulkan gambar yang jelas maka kegiatan duniawi yang dapat mengotori qalbu tidak dilakukan. Akibatnya prestasi intelektual, teknikal, dan estetika yang berhubungan dengan masalah duniawi terabaikan.

2. Keutamaan Sosial

Pada etika realisasi diri juga dituntut keutamaan sosial berupa kebaikan hati, persahabatan, keadilan, dan perbuatan baik. Tujuan keutamaan sosial ini adalah untuk menjaga keserasian hidup, kesejahteraan bersama, adanya saling tolong menolong di antara satu sama lainnya. Untuk mendapatkan keutamaan sosial ini kadang-kadang dilakukan dengan cara pengorbanan diri (self sacrifice) sehingga keutamaan individu menjadi terabaikan. Selain itu peran seseorang pada pekerjaan secara maksimal dinilai sebagai realisasi diri, karena dari perannya tersebut tujuan sosial akan tercapai dengan baik. Realisasi diri dianggap belum maksimal kalau perannya di masyarakat sesuai dengan bidangnya tidak dilakukan secara maksimal. Pada etika realisasi diri, peran sosial menjadi maksimal apabila kemampuan intelektual, teknikal, dan estetika dari individu direalisasikan.

Di sisi lain kaum sufi kurang begitu memperhatikan keutamaan sosial ini. Pada kitab Ihya jilid dua al-Ghazali mengemukakan tentang masalah kesopanan makan, nikah, hukum usaha, halal dan haram, kesopanan pergaulan, tentang uzlah, kesopanan bepergian, tentang pendengaran dan perasaan, amar ma’ruf dan nahi munkar, serta akhlak kenabian. Pembicaraan ini sebenarnya merupakan suatu usaha yang dilakukan untuk mendapatkan kesalehan individu oleh orang yang beragama.

Tasawuf al-Ghazali sangat memperhatikan urusan syariat. Masalah syariat tidak terlepas tujuannya untuk lebih menghayati ajaran agama. Jadi juga menuju kepada kesalehan individu. Pada Ihya jilid satu, al-Ghazali dengan panjang lebar mengupas tentang rahasia ibadat, baik rahasia shalat, puasa, zakat, atau pun pergi haji. Dilihat secara sepintas keutamaan sosial memang tidak akan terabaikan selama mengikuti ajaran agama. Namun yang dikehendaki pada etika realisasi diri tidak hanya keutamaan sosial tetapi peran sosial yang maksimal dari individu yang bersangkutan sesuai dengan kemampuan individualnya.

Etika realisasi diri dan etika tasawuf sebenarnya sama-sama memperhatikan masalah keutamaan sosial dan kemaslahatan sosial, Cuma etika realisasi diri dilandasi oleh pemikiran semata, sedangkan etika sufi didasarkan pada ajaran agama. Ini dapat dipahami karena etika sufi adalah etika religious yang norma-normanya diambil dari ajaran agama. Namun yang membedakannya adalah pada peran sosial di masyarakat[141]. Realisasi diri belum sempurna kalau seseorang mengabaikan peran sosialnya. Bagi etika sufi, hal ini sangat sulit dilaksanakan karena dengan berperannya seseorang secara maksimal dia juga harus merealisasikan aspek individunya berupa kemampuan intelektual, tenikal dan estetika. Di dalam etika sufi ketiga aspek kemampuan tersebut terabaikan. Hasil pemikiran etika realisasi diri terhadap peran sosial ini perlu diperhatikan dengan maksud memperluas operasional ajaran agama tentang keutamaan sosial.

3. Keutamaan Keagamaan

Etika realisasi diri tidak akan membicarakan keutamaan keagamaan ini karena berpendapat bahwa ia adalah masalah agama dan diluar pembicaraan mereka. Walaupun etika realisasi diri membicarakan agama tetapi hanya secara umum. Tentang bagaimana keutamaan keagamaan itu secara rincinya adalah termasuk pembicaraan agama itu masing-masing. Di pihak lain etika tasawuf sangat mengutamakan keutamaan keagamaan ini. Keutamaan individu atau pun keutamaan sosial kalau tidak dilandasi ajaran agama akan sia-sia.

Pada etika realisasi diri manusia dipandang sebagai makhluk yang mempunyai dorongan instink, kesadaran diri dan kemampuan sosial. Kaum sufi sangat berhasil sekali mengatasi dan mengatur instink ini melalui ajaran-ajarannya sehingga orang bisa mengendalikan dirinya. Nafsu yang berlebihan sehingga menimbulkan gejolak dalam diri diusahakan mengarahkannya untuk tidak berlebihan dan menuju kepada ketenangan (an-nafs al-muthma’innah). Hidup zuhud sangat membantu menguasai keinginan yang berlebihan. Faqir bagi orang sufi bukan berarti tidak berharta tetapi hidupnya tidakdikuasai harta.

B. Tujuan Yang Akan Dicapai

Tujuan yang akan dicapai dalam etika keutamaan adalah Kebaikan Tertinggi (Summum Bonum). Kebaikan tertinggi tercapai dengan terealisasikannya segala potensi pada seseorang. Potensi individu adalah merealisasikan instink yang ada pada seseorang guna mempertahankan kelangsungan hidupnya dan menjaga keharmonisannya dengan lingkungan. Realisasi ini harus dikendalikan dengan memperhatikan aspek kesederhanaan, kebijaksanaan, keberanian dan idealisme. Demikian juga dengan instink sosial harus didasarkan pada kebaikan hati (kindness), persahabatan, keadilan dan perbuatan baik. Instink agama diaktualkan dengan melaksanakan ajaran agama masing-masing. Jadi tujuan tertinggi adalah realisasi diri yang berbeda dengan hedonisme yang melihat kesenangan hidup sebagai kebahagiaan.

Perbedaan antara etika realisasi diri dengan kaum sufi adalah bahwa kaum sufi memusatkan perhatian sepenuhnya kepada Tuhan. Kebersihan jiwa mengakibatkan kesiapan jiwa untuk menerima petunjuk Tuhan. Para sufi berpendapat bahwa pencarian pengetahuan dengan susah payah sama sekali tidak berguna karena yang diperlukan adalah pemusatan perhatian terhadap Allah Swt. Apabila hati benar-benar bersih maka jiwa akan siap menerima pengetahuan yang dilimpahkan kepadanya melalui kasih saying Tuhan seperti para nabi dan wali. Al-Ghazali di sisi lain mempertanyakan praktek-praktek sufi dan memaparkan bahaya dan resiko yang akan menimpa jiwa jika tidak dibimbing untuk melawan kesalahan atau ilusi melalui latihan logika sebagai standar pengetahuan.[142]

Kebaikan tertinggi yang ingin dicapai adalah ma’rifatullah. Atau dengan perkataan lain realisasi dirinya dalam bentuk ma’rifatullah. Itulah kebahagiaan yang dicari oleh para sufi pengikut al-Ghazali. Menurut al-Ghazali kebahagiaan adalah sesuatu yang dicari oleh semua orang dan kebahagiaan dapat diperoleh dengan ilmu yang dikaitkan dengan amal. Dengan kebahagiaan dapat diketahui bahwa kesenangan ukhrowi itu memang benar dan tidak dapat dilukiskan dengan perkataan. Orang yang tidak mencari kesenangan ukhrowi tidak mungkin dapat menikmati kesenangan yang dirasakan oleh kaum sufi. Al-Ghazali menyerang pendapat Hedonisme yang menyatakan bahwa tujuan hidup manusia adalah mencari kesenangan dan kelezatan duniawi. Al-Ghazali menolak pendapat ini karena kesenangan yang dicari itu sifatnya sementara dan tidak murni.[143] Kebahagiaan yang hakiki adalah kebahagiaan akhirat. Adapun kebahagiaan lainnya adalah kebahagiaan yang sifatnya majazi dan keliru, seperti kebahagiaan duniawi yang tidak menuju kepada akhirat.[144]

Al-Ghazali membagi kebahagiaan menjadi kebahagiaan ukhrowi dan kebahagiaan duniawi. Kebahagiaan ukhrowi dapat dicapai dengan menempuh dan menjalankan empat keutamaan yang telah dikemukakannya, kebaikan jasmaniah, kebaikan eksternal, dan kebaikan dari Tuhan. Seperti halnya Aristoteles, al-Ghazali menyamakan kebahagiaan dengan kebaikan utama manusia. Tetapi berbeda dengan Aristoteles, ia membaginya kembali menjadi dua macam kebahagiaan utama, kebahagiaan ukhrowi dan kebahagiaan duniawi. Menurutnya yang pertama adalah kebahagiaan sejati sedangkan kebahagiaan duniawi hanyalah sebagai kebahagiaan yang bersifat metaforis. Keasyikan dengan kebahagiaan ukhrowi bagaimanapun tidak memalingkan perhatiannya dari jenis-jenis kebahagiaan atau kebaikan lainnya. Bahkan ia menyatakan bahwa apa pun yang kondusif bagi kebaikan utama maka ia merupakan kebaikan pula. Selanjutnya ia mengatakan, kebahagiaan ukhrowi itu sendiri tidak dapat dicapai tanpa kebaikan-kebaikan lainnya yang merupakan sarana untuk meraih tujuan kebaikan ukhrowi. Kebaikan-kebaikan ini adalah: (a) empat kebaikan utama yang telah dibahas dan pada dasarnya identik dengan “dasar-dasar agama”, (b) kebaikan-kebaikan jasmaniah seperti kesehatan, kekuatan, hidup teratur dan panjang umur, (c) kebaikan-kebaikan eksternal seperti kekayaan, keluarga, kedudukan sosial dan kehormatan kelahiran, dan (d) kebaikan-kebaikan Tuhan seperti petunjuk (hidayah), bimbingan yang lurus (rusyd), pengarahan (tasdid) dan pertolongan (ta’yid). Sebagian kebaikan ini seperti halnya kebaikan jiwa sangat esensial bagi kebahagiaan ukhrowi dan sebagian lainnya adalah esensial bagi kebaikan-kebaikan di atas dalam berbagai tingkatan. Maka kekayaan adalah sarana yang tak terpisahkan dari ketaqwaan dan kedermawanan dan merupakan pertolongan yang sangat berharga bagi anak-anak dan keluarga baik dalam keadaan sengsara maupun makmur.[145]

Petunjuk Tuhan lebih utama dari kebaikan-kebaikan lainnya untuk mencapai kebaikan. Petunjuk Tuhan (hidayah) memperoleh tempat khusus dalam skema al-Ghazali. Baginya petunjuk Tuhan adalah fondasi bagi seluruh kebaikan seperti yang dijelaskan dalam banyak ayat al-Qur’an dan hadis. Al-Qur’an 20:25 menyatakan, Tuhan telah memberikan watak kepada segala sesuatu dan kemudian memberikan petunjuk. Dan hadis yang menyatakan, “tak seorang pun akan masuk surga tanpa rahmat Tuhan”, berarti petunjuk Tuhan. Maka efek dari petunjuk itu ada tiga: (a) memberi kemampuan pada manusia untuk membedakan antara yang baik dan buruk melalui akal yang telah dianugerahkan Tuhan maupun melalui perintah para nabi, (b) memberi kemampuan pada manusia untuk muncul dengan derajat-derajat perolehan pengetahuan tertinggi atau menumbuhkan kebaikan-kebaikannya, dan (c) berperan sebagai cahaya yang memancar dari dunia kenabian dan wilayah spiritual, dimana manusia memiliki akses pada realitas-realitas yang tidak dapat ditemukan oleh akal dengan sendirinya. Inilah apa yang disebut al-Qur’an (2:120) sebagai “petunjuk Tuhan” atau “petunjuk mutlak” dan disebut hidup dan cahaya dalam al-Qur’an (6:122).

Al-Ghazali mengatakan, dengan petunjuk itu berarti Allah memberikan pertolongan kepada manusia agar kembali menuju takwa dan menjauhkan dari perbuatan yang merusak. Petunjuk ini ada dalam batinnya sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an (21:51), “kami telah berikan kepada Ibrahim bimbingan (rusyd) sebelumnya dan ia benar-benar mendapat pengetahuan dengannya.”[146]

C. Sarana Dalam Mencapai Tujuan

Etika al-Ghazali diarahkan untuk berusaha mencari Tuhan. Basis etika al-Ghazali adalah tuntunan tasawuf bagi jiwa untuk selalu berusaha mencari Tuhan. Ide-ide tentang akhirat dan theosentrisnya mencela kegelisahan manusia sewaktu kehilangan kepemilikan duniawi, timbulnya perasaan sedih karena penderitaan duniawi, dan sombong terhadap ketentuan Tuhan. Di samping itu ide-ide al-Ghazali juga mencaci maki perasaan takut akan mati yang lahir dari kekeliruan konsepsi manusia tentang kedudukannya di dunia dan tidak terelakkannya kematian. Manusia yang benar-benar berakal justru akan memikirkan kematian, mempersiapkan diri dengan tawakkal, tidak berlaku zalim, meninggalkan kecemburuan dan kekhawatiran terhadap pemilikan duniawi dan menanamkan kebiasaan merasa puas terhadap apa yang diterimanya dan selalu menyesali diri atas dosa yang diperbuatnya, mempersiapkan diri untuk bertemu Tuhan dengan kebahagiaan yang tak terhingga. Seperti sabda Nabi saw., “Barangsiapa cinta bertemu Tuhan, maka Tuhan cinta bertemu dengannya, dan barangsiapa benci bertemu Tuhan, maka Ia akan benci bertemu dengannya.”[147]

Untuk sampai kepada tahap ketuhanan seorang harus menjalankan kewajiban-kewajiban agama. Pastikan bahwa Tuhan tetap hadir dalam hati. “Maka orang yang benar-benar mencari Tuhan (salik) tidak akan diributkan dengan kehilangan atau kemalangan dan tidak akan memikirkan segala hal melainkan kedekatan (qurb) denganNya. Bagaimanapun jumlah salik sejati sangat kecil sementara salik palsu sangat banyak jumlahnya. Ada dua metode untuk membedakan antara salik sejati dan salik palsu. Pertama, pastikanlah bahwa seluruh perbuatan mereka ditentukan oleh perintah dan larangan hukum agama (syar’), karena sangat mustahil bagi salik untuk memulai pencariannya sebelum menanamkan seluruh kebaikan moral dan agama yang telah dibahas dalam buku ini (Mizan) sekaligus kewajiban-kewajiban pelengkap (nawafil) yang membentuk ketaqwaan sejati. Mereka yang mengabaikan syarat-syarat di atas pada hakekatnya disebabkan oleh kemalasan dan ketidakteraturan. Untuk menuju jalan Tuhan maka kewajiban-kewajiban agama dan moral merupakan langkah pertama yang harus dilakukan untuk mengantarkannya kepada tahap ketuhanan. Selama manusia masih terbelenggu oleh dunia sebenarnya ia adalah budak bagi nafsunya. Oleh karena itu ia harus senantiasa melawan godaan-godaan syetan dengan menunaikan kewajiban-kewajiban agama secara penuh. Metode kedua adalah pastikan bahwa Tuhan tetap hadir dalam hati si salik. Dengan kehadiran ini kita akan memahami perasaan berdosa, cinta sejati dan ketaatan yang lahir dari kesadaran akan keindahan dan keagungan Tuhan. Tanda-tandanya adalah tidak pernah berhenti untuk memikirkan Tuhan, sehingga jika sewaktu-waktu ia dikacaukan dalam memikirkan Tuhan, maka ia tidak akan seperti kekasih yang bernafsu yang memperbolehkan pikirannya menyimpang dari jalan Tuhan untuk waktu yang cukup lama.[148]

Tiga syarat yang harus dipenuhi untuk menuju Tuhan dan akan membawanya lebih dekat kepada Tuhan. Dekat kepada Tuhan maksudnya adalah kedekatan spiritual, yaitu kewaspadaan, ketetapan kehendak dan pencarian terus menerus. Hakekat kewaspadaan adalah pemahaman tentang keindahan Tuhan, yang menimbulkan keinginan dan kerinduan dengan mengabaikan yang lainnya. Bagi pemula ketika pertama kali memandang keindahan dan keagungan Tuhan tampak begitu suram, namun bila pandangannya dipertajam maka ia akan menemukan aspek-aspek keindahan yang menyegarkan di dalamnya yang akan memperkuat keinginannya dan membawanya “lebih dekat” dengan Tuhan. “Kedekatan” tersebut tidak dipahami seperti pemahaman anthropormorfis (musyabbihah), hubungan geografis atau lokal, tapi lebih merupakan afinitas spiritual yang analog dengan hubungan murid dengan gurunya yang membawanya untuk secara terus-menerus melakukan peningkatan menuju kesempurnaan gurunya. Peningkatan ini pertama kali memang tampak sulit atau dapat dikatakan tidak mungkin, namun jika si pemula melakukannya secara bertahap maka ia tidak akan mengalami kesulitan bahkan ia akan mampu muncul setingkat demi setingkat menuju tingkat tertinggi, dari tahapan belajar ini ia akan mampu menjadi orang suci, sampai setingkat dengan para nabi dan akhirnya dengan malaikat. Pada saat tingkatan terakhir tercapai maka “si salik sama sekali akan berbeda dengan karakteristik manusia biasa dan ia akan menjadi malaikat dalam bentuk manusia biasa.”[149]

Sarana untuk menuju kebahagiaan adalah dengan mendapatkan empat keutamaan, yaitu keutamaan jiwa (al-fadhail an-nafsiyyah), keutamaan jasmani (al-fadhail al-jismiyyah), keutamaan luar (al-fadhail al-kharijiyyah), dan keutamaan bimbingan ilahi (al-fadhail at-tafiqiyyah).[150] Al-Ghazali mengikuti pendapat para filosof tentang empat keutamaan dalam etika, yaitu kebijaksanaan, keberanian, menahan diri, dan keadilan. Meskipun keutamaan ini sama dengan istilah yang digunaan para filosof, namun penafsiran al-Ghazali berbeda. Al-Ghazali menafsirkan keutamaan tersebut dilihat dari segi agama dan ajaran tasawuf, sedangkan penafsiran para filosof tidak merujuk kepada agama.[151]

Setelah mencermati etika realisasi diri dan etika tasawuf dapat disimpulkan bahwa etika realisasi diri pada dasarnya terlalu menggantungkan ajarannya pada pendapat akal semata dan tidak ikut mencampuri urusan agama. Sebagai konsekuensinya etika realisasi diri lebih melihat kepada kesejahteraan duniawi dari pada kesejahteraan ukhrawi. Etika ini berhasil mempercepat kemajuan di bidang intelektual, teknologi dan keindahan sehingga menciptakan kebudayaan yang mengagumkan. Keberhasilan ini tidak membawa kepada kebahagiaan yang sebenarnya karena hanya kebahagiaan yang bersifat sementara.

Etika tasawuf al-Ghazali berhasil dalam menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama dan membawa penganutnya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Keberhasilan umat di akhirat lebih diutamakan daripada keberhasilan duniawi. Ini dapat dilihat bahwa al-Ghazali:

1. Berhasil memberi makna spiritualitas kepada teologi dan fiqh.

Pada masa al-Ghazali terdapat banyak aliran teologi dan juga mazhab-mazhab fiqh. Pertentangan pendapat di kalangan mereka sangat membingungkan masyarakat awam. Ilmu Kalam memelihara akidah dan mempertahankannya dari gangguan kaum bid’ah. Namun Ilmu Kalam tidak dapat menuntaskan hakekat segala sesuatu karena itu bukan tujuan dari Ilmu Kalam. Karena itu Ilmu Kalam tidak akan berhasil menghapus secara tuntas kebingungan dalam hal adanya perbedaan pendapat yang timbul. Di dalam Ihya, Rubu ‘Ibadat, al-Ghazali memberikan pedoman tentang ubudiyah yang dapat menjiwai ibadah seseorang.

2. Berhasil dalam membina akhlak umat Islam.

Pada masa al-Ghazali, sebagaimana juga sekarang ini, pada umumnya banyak orang menuntut ilmu untuk mendapatkan kedudukan atau kekayaan. Dan ini juga dirasakan al-Ghazali pada dirinya. Selain itu perebutan kedudukan di pemerintahan mengakibatkan terjadinya saling bunuh membunuh satu sama lain, walaupun pejabat pemerintahan itu masih termasuk dalam satu keluarga atau masih saudara. Al-Ghazali nampak tidak sejalan terhadap sikap dari sebagian besar rekan-rekannya yang kelihatan materialistis.[152] Di dalam Ihya, Rubu’ al-Muhlikat dan al-Munjiyat, al-Ghazali memberikan pedomannya agar orang dapat berbudi pekerti luhur. Al-Ghazali juga menulis al-Maqshad al-Asna li Asma al-Husna, untuk bisa ber-takhallaq bi akhlaqi Allah.

3. Berhasil dalam meluruskan pemikiran para filosof muslim yang terpengaruh filsafat Yunani.

Menurut al-Ghazali para filosof Islam sangat terpengaruh pendapat filosof Yunani, terutama pemikiran Plato dan Aristoteles, sehingga filosof Islam itu keliru dalam filsafatnya tentang agama. Setelah mempelajari filsafat al-Ghazali menulis buku al-Maqashid al-Falasifah, dan dalam hal meluruskan jalannya filsafat, khususnya filsafat ketuhanan, al-Ghazali menulis Tahafut al-Falasifah. Tidaklah benar bahwa dengan adanya tulisan al-Ghazali tersebut pemikiran filsafat umat Islam menjadi terhenti. “… tidak berlebihan jika dikatakan bahwa jenis filsafat yang khas Islami justeru baru berkembang setelah Ibn Rusyd, bukan sebelumnya.”[153]

4. Berhasil meluruskan ajaran tasawuf sehingga tidak meninggalkan syara’.

Al-Ghazali berhasil membina ajaran tasawuf yang sesuai dengan ajaran Islam. Maksudnya dengan bertasawuf orang tidak akan meninggalkan kewajiban syariat. Malahan orang yang beribadat menjadi tambah khusyu’. Di dalam kitabnya al-Munqidz min ad-Dlalal al-Ghazali menyatakan tidak setuju dengan paham ittihad dan hulul. Ini juga dikemukakannya dalam kitabnya al-Maqshad al-Asna.

5. Dalam ajarannya tentang diri, al-Ghazali berhasil membentuk pribadi muslim yang sempurna, dalam pengertian beriman dan beramal shaleh. Dalam bertasawuf al-Ghazali tidak meninggalkan masyarakat demi hidup untuk kepentingan pribadinya. Di dalam al-Munqidz, al-Ghazali mengungkapkan kesediaannya memenuhi permintaan Sultan untuk bertugas kembali di Nisabur guna menyebarkan ilmu seperti dulu. Al-Ghazali menjelaskan kalau dulu ia mengajar karena ingin kedudukan dan pengaruh, maka yang sekarang ini tujuannya adalah menganjurkan ilmu untuk meninggalkan pengaruh dan kedudukan. Al-Ghazali ingin memperbaiki dirinya sendiri bersama-sama dengan hamba Allah lainnya.[154] Maka kalau dikatakan etika al-Ghazali adalah etika individual, tidaklah terlalu tepat. Al-Ghazali tidak mengabaikan untuk berada di masyarakat dengan maksud memperbaikinya seperti diuraikannya di atas. Namun adalah wajar kalau sebelum ke masyarakat diri sendirilah yang lebih dahulu diperbaiki.

Antara etika realisasi diri dan etika tasawuf nampaknya seperti terletak antara dua kutub yang ekstrim. Yang satu lebih mementingkan kesejahteraan duniawi dan sedikit masalah ukhrawi, dan satu lagi lebih mementingkan kesejahteraan ukhrawi dengan sedikit agak meninggalkan urusan duniawi. Ada tesa dan antitesa. Harus ada sintesa dimana kehidupan dunia berhasil demikian juga dengan kehidupan ukhrawinya. Kebahagiaan dunia sebagai rahmat bagi alam itu dan kebahagiaan akhirat sebagai kebahagiaan yang sejati.

D. Relevansi Etika Tasawuf al-Ghazali

Namun akhir-akhir ini timbul ide-ide baru di kalangan tokoh-tokoh Islam sendiri, baik terhadap tasawuf atau pun terhadap al-Ghazali sendiri. Ide-ide baru terhadap tasawuf adalah muncul pemikiran perlunya tasawuf modern, tasawuf positif, atau neosufisme atau tasawuf sosial. Dari ide-ide tersebut dapat dilihat bahwa kata tasawuf-nya masih melekat. Artinya inti dari tasawuf itu masih dipegang, mungkin karena ihsan-nya atau spiritualitas-nya itu. Tetapi yang jelas bahwa munculnya ide-ide baru tersebut karena adanya terasa sesuatu yang tidak atau belum teraktualkan selama ini di dalam ajaran-ajaran tasawuf sebelumnya. Perkataan tidak teraktualkan ini maksudnya adalah bahwa walaupun ajaran tasawuf sebelumnya ada mengemukakan hal ini tapi masih terabaikan. Potensial ada teraktualkan tidak.

Tasawuf Modern dari Hamka atau pun pemikiran Ibn Taimiyah tentang tasawuf menghendaki agar orang yang bertasawuf tidak melanggar ketentuan yang sudah ada di dalam al-Qur’an dan Hadits, yang tidak memandang dunia secara negatif.[155] Transendensi seperti yang dialami para sufi yang terpisah dari dunia kini dan di sini tidak sesuai dengan al-Qur’an. Menurut al-Qur’an dunia ini riil dan orang disuruh beramal shaleh. Konsepsi amal shaleh dalam al-Qur’an selalu mengasumsikan tiga hal secara serasi dan serentak.

Pertama, amal sholeh mengharuskan adanya kesadaran spiritual suatu perjuangan dan pendakian spiritual yang berujung pada penyucian diri. Kedua, amal saleh adalah juga beramal untuk peningkatan dan perbaikan kualitas diri. Tidak ada amal saleh dalam Islam yang jika melakukannya akan merusak pelaku, tetapi yang ada justru menyehatkan pelaku. Ketiga, amal saleh selalu mengasumsikan dampak riel positif bagi perbaikan sosial.[156]

Neosufisme sangat menekankan perlunya pelibatan diri dalam masyarakat secara lebih kuat daripada sufisme lama. Menanamkan kembali aktivitas ortodoks dan menanamkan sikap positif kepada dunia. Menekankan pentingnya aktivitas intelektual.[157]

E. Islam dan Etika Realisasi Diri

Etika Islam berbeda dengan etika filsafat karena etika Islam menuntun kita kepada tingkah laku yang baik, menjadikan al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber moral, bersifat universal dan komprehensif, praktis dan cocok dengan akal serta fitrah manusia, dan membawa manusia kepada akhlak yang luhur dalam menuju keridhaan Allah.[158] Etika Islam dapat diikhtisarkan menjadi empat aksioma etika, yaitu Tauhid, Kesetimbangan, Kehendak Bebas dan Pertanggungjawaban.[159]

Yang pertama, sistem etika Islam selalu tercermin dalam konsep Tauhid, hanya berhubungan dengan Tuhan. Ini berarti membedakan Khalik dengan makhluk, dan memerlukan penyerahan tanpa syarat oleh semua makhluk kepada kehendakNya. Konsep Tauhid juga memberikan prinsip perpaduan yang kuat bagi eksistensi manusia, karena seluruh umat manusia dipersatukan dalam ketaatan kepada-Nya. Disamping mengemukakan dimensi vertikal dan persatuan umat, konsep ini juga memberikan umat manusia perspektif pasti, dimana pencarian manusia akan kebenaran pasti berhasil jika ia mendapat petunjuk dari Yang Maha Esa. Hal ini dapat menghilangkan rasa ragu karena segala perbuatannya akan dapat tuntunan dan petunjuk Tuhan, sehingga akibat baliknya segala yang akan dikerjakannya seolah-olah dapat misi dari-Nya.[160]

Aksioma kedua dari etika Islam adalah adanya Kesetimbangan, al-‘Adl, yang merupakan dimensi horizontal Islam. Kesetimbangan merupakan sifat tertinggi Tuhan. Sifat ini juga menandai semua ciptaanNya yang terlihat dalam keharmonisan alam. Kesetimbangan juga harus terwujud dalam kehidupan individu. Dalam diri manusia terdapat nafsu jahat dan ide-ide yang harus dikumpulkan bersama secara harmonis agar menghasilkan makhluk manusia yang adil. Dalam istilah kesetimbangan ini terdapat nilai normative tertentu yang menunjukkan tanggungjawab moral dalam masyarakat.[161]

Aksioma ketiga adalah Kehendak Bebas. Maksudnya manusia tidak diikat dengan takdir dalam arti harfiah. Manusia diberi kecakapan untuk memilih dan kebebasan untuk menerima ataupun menolak yang ada di bumi, sebagai kelanjutan penerimaan manusia akan badan yang tak seorangpun dapat memikulnya. Konsep Islam tentang kebebasan manusia berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh filosof sosial Barat yang menurut mereka dengan adanya hak individu yang hamper tidak dibatasi atas kekayaan pribadi akan dapat memberikan kontribusi maksimum pada kebaikan sosial. Menurut Islam semua kekayaan adalah milik Tuhan dan manusia hanya wakil-Nya saja di bumi karena individu tidak mempunyai suatu hak alami atas apa yang ia peroleh.[162]

Aksioma terakhir adalah Pertanggungjawaban. Kebebasan harus diimbangi dengan pertanggungjawaban, karena dengan menjatuhkan kepada suatu pilihan dia harus bersedia menerima konsekuensinya. Tak seorang pun dapat bebas dari konsekuensi perbuatan jahattnya. Doktrin pertanggungjawaban ini merupakan suatu prinsip dinamis agar manusia berkembang untuk mencapai kesempurnaan. Karena itu fatalism yang tersirat dalam takdir sebenarnya bukan merupakan bagian dari Islam.[163]

Dengan demikian harus disadari bahwa etika Islam itu mempunyai karakter tersendiri, bebeda dengan etika pada umumnya. Karakter itu adalah:

1. Dari segi dasasrnya, akhlak berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits (al-Maidah/5:15-16 dan al-Hasyr/59:7);

2. Iman sebagai sumber motivasi (al-Nur/34:39};

3. Ridla Allah sebagai tujuan akhir (al-Baqarah/2:207 dan 265; al-Nisa/4:114 serta al-Bayyinah/98:5);

4. Penilaian tidak terhadap tindakan lahir semata, akan tetapi berpangkal pada motif atau niat (HR Bukhori – Muslim);

5. Membagi sanksi pelanggaran norma menjadi dua bagian, yakni sanksi ancaman duniawi atau hukuman materiil sebagai tamahan celaan dari Hari Pengadilan; dan perbuatan yang diancam sanksi akhirat/sanksi sosial;

6. Meletakkan akal dan naluri pada porsi dan proporsinya (al-Hadits);

7. Mencakup semua aspek kehidupan manusia, dan

8. Berlaku universal.[164]

Ada yang menyamakan sistem etika Islam dengan fiqh yang mengatur seluruh kehidupan orang-orang yang beriman. Sistem etika ini berkembang lebih dahulu dari Ilmu Kalam, dan sampai sekarang orang Islam menganggapnya sebagai bagian dari agama. Masalah utama yang dibicarakannya adalah kebenaran yang ideal dengan prinsip-prinsip utamanya membagi tindakan moral kepada lima klasifikasi, yaitu: (1) Perbuatan yang wajib dilakukan, yang mengerjakan berpahala dan yang meninggalkan dihukum; (2) Perbuatan yang dianjurkan untuk dikerjakan, namun bila dilalaikan tidak mendapat hukuman; (3) Perbuatan yang dilakukan atau tidak dilakukan sama saja; (4) Perbuatan yang tidak disetujui hokum, namun bilamana dikerjakan tidak dihukum; (5) Perbuatan yang dilarang agama dan bilamana dikerjakan akan mendapat hukuman.[165] Dengan masuknya filsafat Yunani ke pemikiran Islam maka sistem etikanya pun terpengaruh sistem etika asketik yang diwarnai oleh pandangan Pitagoras (572-497 s.M) dan Plotinus (205-270) serta sistem etika para filosof yang terpengaruh Aristoteles.[166]

Sistem etika Ikhwan as-Shafa[167] bersifat asketik dan spiritualistic. Etika ini berpendapat bahwa manusia itu bertindak benar bilamana dia mengikuti koderatnya; perbuatan jiwa yang bebas merupakan sesuatu yang patut dipuji, perbuatan-perbuatan yang dilakukan berdasarkan pertimbangan akal sangat dikagumi; serta taat kepada hukum Tuhan patut mendapat ganjaran, mendapatkan syurga. Tetapi ini memerlukan kepada yang di atas, dan karena itu kebijakan yang tertinggi adalah cinta, yang berjuang keras untuk bersatu dengan Tuhan dan yang terasa dalam kehidupan ini dalam bentuk kesabaran dan kemampuan mengontrol diri. Cinta yang seperti itu di dunia ini membawa ketenangan jiwa, kebebasan hati, dan kedamaian, sedangkan dalam kehidupan akhrat dia naik ke Cahaya Abadi (Eternal Light). Karena paham seperti itu maka yang bersifat jasmani menjadi kurang nilainya. Esensi yang benar adalah jiwa dan tujuan tertinggi dari eksistensi adalah hidup dan mengikuti kepada Tuhan. Namun demikian jasmani haruslah tetap dipelihara agar supaya jiwa dapat mencapai perkembangannya yang sempurna.[168]

Etika al-Farabi (870-950) kadang-kadang sesuai dengan Plato dan kadang-kadang dengan Aristoteles. Al-Farabi menyatakan, yang memutuskan sesuatu itu baik atau buruk adalah akal dan pengetahuan menempati kedudukan yang lebih tinggi dari pada tindakan moral karena tanpa pengetahuan seseorang tidak dapat memutuskan terhadap suatu perbuatan. Selanjutnya dia mengemukakan bahwa jiwa pun punya keinginan seperti halnya binatang yang lebih rendah kedudukannya. Namun manusia juga mempunyai kebebasan memilih, dengan menggunakan pertimbangan akalnya. Pemikiran yang murni adalah yang berasal dari kebebasan, tetapi pada akhirnya pemikiran itu juga ditentukan oleh Tuhan. Dalam pengertian ini al-Farabi berarti seorang determinis.[169]

Cerita Hay bin Yaqzan yang dikemuakakan Ibn Tufail (1110-1184) mengandung sistem etika yang dipengaruhi oleh Pitagoras. Hay telah mementukan tujuan dari perbuatannya, yaitu untuk menyatukan dirinya kepada yang absolut. Tetapi dalam kenyataan dia melihat semua yang ada ini berusaha untuk mencapai wujud Teringgi ini. Menurutnya binatang dan tumbuh-tumbuhan di samping hidup untuk dirinya juga hidup untuk Tuhan, karena itu dia tidak boleh memperlakukan mereka secara sembarangan. Dia hanya memenuhi kebutuhan hidupnya sekedar yang perlu saja. Buah-buahan yang dimakan bijinya ditanam lagi untuk bisa tumbuh. Dan hanya karena terpaksalah dia menyentuh makanan binatang. Prinsip hidupnya ini membawanya kepada kehidupan yang lebih tinggi dimana dia berusaha agar berguna bagi lingkugannya dan tetap menjaga hidupnya selalu bersih. Dia mengatur tumbuh-tumbuhan dan menjaga binatang yang ada di sekitarnya agar supaya pulau yang dihuninya itu laksana syurga. Dia memperhatikan dengan cermat kebersihan pribadinya dan pakaiannya dan berusaha agar semua geraknya menjadi harmonis. Dengan demikian dia akhirnya mampu meningkatkan dirinya sampai kepada Spirit yang murni. Itulah keadaan ekstasi yang tak mungkin pemikiran, perkataan, dan khayal mengekspresikannya.[170]

Ibn Miskawaih (941-1030 M) telah mewariskan kepada kita suatu sistem filsafat akhlak yang materinya diambil dari Plato, Aristoteles, Galenus dan Hukum Islam, meskipun pemikiran Aristoteles lebih menonjol di dalamnya.[171] Di dalam bukunya Tahdzib al-Akhlaq wa Tathhir al-A’raq dikemukakannya tentang prinsip-prinsip etika,[172] karakter dan kehalusan budi bahasa,[173] kebaikan dan kebahagiaan,[174] keadilan,[175] cinta dan persahabatan,[176] serta kesehatan jiwa.[177]

Secara ringkas, pokok pembahasan Ibn Miskawaih memuat pengertian tentang akhlak, keutamaan, kebahagiaan, cinta, dan pendidikan akhlak. Dia berpendapat akhlak adalah keadaan jiwa yang mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan tanpa dipikirkan dan diperhitungkan sebelumnya. Manusia dapat berusaha merubah watak kejiwaannya yang tidak baik menjadi baik dengan melihat kepada syari’at, nasehat-nasehat, dan berbagai macam ajaran tentang adab dan sopan santun. Pendidikan dan lingkungan penting bagi manusia dalam hubungannya dengan pembinaan akhlak.

Khalifa Abdul Hakim dalam bukunya Islamic Ideology menguraikan pendapatnya tentang etika Islam. Etika mengkaji tingkah laku apa yang baik dan yang buruk. Untuk itu dipersoalkan hakekat baik dan buruk itu, tujuan atau cita-cita apakah yang dituju atau seharusnya dituju manusia. Adakah tujuan tertinggi dalam kehidupan manusia ataukah tujuan berbeda yang dikejar itu tidak punya hubungan satu sama lain?

Etika juga mengkaji tingkah laku secara keseluruhan, dan juga mempertimbangkan tujuan tertinggi kemana kehidupan kita arahkan. Jika tujuan yang tertinggi telah ditentukan, maka tujuan-tujuan khusus dapat saja disesuaikan dengaannya. Terdapat banyak tujuan yang dikehendaki manusia hanya demi tujuan itu saja. Tujuan itu disebut kebaikan mutlak atau yang mempunyai nilai intrinsic. Pengetahuan, keindahan, kebahagiaan, misalnya, bukan hanya diinginkan sebagai sarana bagi tujuan lainnya tetapi sebagai yang dapat bernilai instrinsik yang kebaikannya terletak dalam dirinya sendiri.

Setelah mengemukakan gambaran etika secara umum dan menghubungkannya dengan agama seterusnya dikemukakannya bahwa apa yang dalam etika disebut dengan pencarian summum bonum, maka agama menyebutnya sebagai pencarian Tuhan. Untuk istilah ini Plato menyebutnya Kebaikan. Jadi dalam pembahasan tentang pencarian tujuan akhir penamaan istilahnya dianggap sebagai ekuivalen, Tuhan, Kebaikan, atau yang Ideal. Sambil menunjukkan kelemahan aliran hedonisme, dia mengemukakan bahwa kehidupan bukanlah semata-mata bersifat fisik atau biologis. Kehidupan manusia tercapai dengan merealisasikan tujuan-tujuan yang melampaui kebutuhan-kebutuhan jasmaniah. Karena itu kebaikan yang dituju haruslah berupa peningkatan realitas esensial, yaiitu peningkatan diri yang sebenarnya. Islam tidak menganggap manusia itu hanya sebagai suatu organisme fisik saja tetapi juga berpendirian bahwa jiwa manusia adalah spirit dari Tuhan[178] dan manusia diciptakan untuk mengasimilisasikan lagi atribut-atribut Tuhan.[179] Kebenaran, keindahan, cinta, damai dan kebahagiaan adalah nilai-nilai yang intrinsic karena kesemuanya itu bersumber dari Realitas Mutlak. Etika Islam adalah etika pengembangan diri (self-realization) dan yang dimaksud dengan self adalah self manusia yang sempurna termasuk instink dan perasaannya. Karena manusia secara fisik adalah suatu organism yang terdiri dari bermacam-macam bagian dan setiap bagian dianugerahi fungsi khusus, maka demikian juga jiwa manusia adalah suatu organisme spiritual dimana setiap instink punya fungsi tertentu. Dengan demikian manusia punya ketergantungan melalui semua dorongan itu dan bilamana dimanfaatkannya sesuai dengan kehendak Allah maka hal itu merupakan sumbangan yang besar baik bagi pribadinya atau pun masyarakatnya.[180]

Namun para pengkaji pemikiran Islam dan orientalis ada yang mengatakan bahwa etika dalam Islam tidak berkembang. Etika yang ada merupakan etika yang terdapat pada pemikiran Sokrates, Plato dan Aristoteles. Mereka berkesimpulan tidak ada pembahasan etika dalam filsafat Islam. Mereka merasa sudah cukup dengan ajaran yang terdapat dalam al-Quran maupun Hadits.[181] Pendapat ini mereka buktikan dengan mengemukakan bahwa Ibn Khaldun misalnya, dalam kitab Muqaddimahnya tidak menguraikan sama sekali tentang etika, padahal pada pasal enam dari bukunya itu telah diuraikan tentang ilmu pengetahuan. Demikian juga al-Farabi walaupun menyinggung pembahasan etika, tetapi sangat dipengaruhi oleh pendapat Aristoteles. Al-Tahanawi, dalam bukunya Kasysyaf Ishthilahat al-Funun, memang menyinggung soal etika tetapi penjelasannya tentang etika sangat dangkal. Teori etika yang dikemukakan Ibn Miskawayh diambilnya dari etika Plato, Aristoteles, Galen dan ada beberapa ajaran etika dalam Islam.[182]

Namun Ahmad Mahmud Shubhi dalam bukunya Filsafat Etika, Tanggapan Kaum Rasionalis dan Intuisionalis Islam, mempertanyakan pendapat para pengamat tersebut. Menurut Ahmad Mahmud Shubhi para orientalis tersebut keliru dalam memahami etika Islam. Selain itu teks suci kaum Muslimin tidak membatasi penganutnya untuk berijtihad dalam memutuskan hal-hal yang baru. Keimanan dalam Islam seringkali diiringi dengan penyebutan amal saleh. Kekeliruan mereka melihat pemikiran etika dalam Islam adalah karena banyak para pengamat itu memandang produk intelektual Islam dari sudut pandang Aristoteles. Juga mereka tidak mengkaji etika dari segi kerangka rasionalitas Islam.[183]

Etika Islam bersumber dari metafisika atau agama, sedangkan Aristoteles dari realita. Kekekalan jiwa, kebebasan berkehendak dan keyakinan adanya Tuhan merupakan masalah penting dalam etika karena dijadikan sebagai landasan etika itu sendiri. Metafisika adalah obyek bagi penalaran akal, metode yang harus digunakan oleh pemikir muslim adalah metode yang berbasis pada penyatuan perilaku dan keyakinan; dan etika harus bersandar pada metafisika secara logis.[184] Dalam hal metodologi pengkajian etika dalam Islam, Muhammad Shubhi mengemukakan:

Saya ingin menyimpulkan bahwa di depan prinsip-prinsip keyakinan – atau metafisika etika – terdapat persoalan perbuatan yang harus dimasukkan dalam kajian filsafat etika. Dengan demikian, metode kajian etika menjadi sempurna, selama kajian tersebut mencakup dimensi teoritis dan praktis antara keyakinan dan perilaku. …..

Metodologi yang saya gunakan dalam buku ini dan sekaligus yang saya pandang tepat untuk studi etika dalam pemikiran agama, berangkat dari prinsip-prinsip keyakinan atau metafisika etika, dari wilayah teori, menuju ke wilayah praktik.[185]

Dalam bukunya Islam as An Ethical & A Political Ideal, Iqbal menguraikan pandangan agama-agama besar, Budhisme, Kristen, dan Zoroaster, tentang hakekat manusia dan alam semesta. Setelah itu Iqbal membandingkannya dengan pandangan Islam. Menurut Iqbal, implikasi psikologis dari Budhisme menganggap penderitaan sebagai unsur yang utama dalam konstitusi alam semesta. Manusia, dilihat sebagai suatu individualitas, tak berdaya melawan kekuatan penderitaan tersebut. Dalam hal ini terdapat suatu hubungan yang tak dapat dipisahkan antara penderitaan dan kesadaran individual yaitu suatu kemungkinan penderitaan yang terus menerus. Dengan mengambil titik tolak penderitaan itu Budhisme secara konsisten meletakkan dihadapan manusia cita penghancuran diri yang dalam sufisme bisa disebut dengan fana. Mengenai penderitaan dan perasaan kepribadian, maka penderitaanlah yang abadi. Karena itu menurut Budhisme keselamatan adalah ketidakaktivan, dan kebajikan yang utama adalah penolakan diri dan tidak mementingkan keduniawian.[186]

Kristen sebagai suatu sistem agama, menurut Iqbal, didasarkan pada dosa asal. Dunia ini dianggap sebagai jahat dan dosa merupakan warisan turun temurun bagi manusia sebagai individu. Karena itu manusia tidak berdaya, dan dia memerlukan suatu pribadi supernatural untuk menghubungkannya dengan Pencipta. Agama Kristen, tidak seperti Budhisme, menganggap personalitas manusia sebagai suatu yang nyata, tetapi sesuai dengan Budhisme yang berpendapat bahwa manusia saja, sebagai kekuatan melawan dosa tidaklah cukup. Terdapat sedikit sekali perbedaan antara keduanya: Menurut Kristen manusia bebas dari dosa dengan menggantungkan diri pada Penebus Dosa, sedangkan menurut paham Budha manusia dapat lepas dari penderitaan dengan membiarkan dirinya hilang dalam Energi Alam Universal. Keduanya setuju atas ketidakberdayaan manusia, dan keduanya juga sependapat bahwa ketidakberdayaan itu merupakan suatu kejahatan. Tetapi agama Kristen mengatasi kelemahannya ini dengan membawa dalam kekuatannya suatu personalitas penebus dosa, sedangkan Budhisme mengatasi dengan pengurangan peranan diri secara gradual sehingga akhirnya semuanya menjadi tiada.[187]

Paham Zoroaster melihat alam ini sebagai suatu perjuangan yang tidak habis-habisnya antara dua kekuatan yaitu kekuatan jahat dan kekuatan baik. Paham ini juga menganggap bahwa manusia punya kemampuan untuk memilih salah satu dari kemampuan yang disukainya. Alam semesta, menurut paham Zoroaster, sebagiannya bersifat jahat dan sebagian lagi bersifat baik. Manusia tidak seluruhnya bersifat baik dan juga tidak seluruhnya bersifat jahat, tetapi merupakan gabungan dua prinsip, terang dan gelap, yang terus menerus berjuang satu sama lain untuk mendapatkan kemenangannya. Dari ketiga agama tersebut Iqbal akhirnya mengambil kesimpulan mengenai pendapat mereka terhadap hakekat alam semesta dan manusia. Menurut paham Budha kesengsaraan pada alam dan manusia, yang dianggap sebagai individu, bersifat jahat. Menurut Kristen dalam alam ini terdapat dosa, dan dosa tersebut terdapat pada manusia secara alami. Sedangkan menurut paham Zoroaster pada alam ini selalu terdapat perjuangan. Manusia merupakan campuran dari kekuatan-kekuatan yang sedang berjuang dan bisa bebas dengan menempatkan dirinya pada sisi kekuatan kebaikan yang akhirnya akan memenangkan perjuangan itu.[188]

Menurut Iqbal, dosa, sengsara, dan penyesalan merupakan kata-kata yang sering disebut dalam al-Qur’an. Misalnya terdapat dalam al-Qur’an, 2: 28,” ….. niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”[189] Islam melihat alam semesta ini sebagai suatu realitas. Dosa, sengsara, penyesalan, dan perjuangan bersfiat nyata, tetapi Islam mengajarkan bahwa kejahatan bukanlah suatu yang esensial pada alam semesta ini. Alam semesta dapat diperbaharui kembali, sedangkan unsur-unsur dosa dan kejahatan dapat dihilangkan secara bertahap. Segala apa yang ada di alam semesta adalah milik Tuhan, sebagaimana dikemukakan dalam al-Qur’an, surah Yunus: 66, “Ingatlah, sesunnguhnya kepunyaan Allah semua yang ada di langit dan semua yang ada di bumi …..”[190]

Menurut Iqbal, kekuatan-kekuatan alam yang nampaknya merusak, bilamana dikontrol dengan baik oleh manusia bisa menjadi sumber-sumber kehidupan, sebagaimana dikemukakan dalam al-Qur’an 2:164, “Sesungguhnyha dalam penciptaan langit dan bumi , silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, sungguh terdapat tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.’ Manusia juga dianugrahi kekuatan untuk memahami dan mengontrol alam, sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an, 10:2, “….. Kami jadikan dia mendengar dan melihat.’

Ayat yang dikemukakan tersebut dan pengakuan dari al-Qur’an tentang adanya dosa dan penyesalan menunjukkan bahwa pandangan Islam terhadap alam semesta tidak bersifat optimis dan juga tidak bersifat pesimis. Menurut Iqbal, psikometri modern memberikan jawaban yang tuntas terhadap akibat-akibat psikologis dari ajaran Budha: Kesengsaraan bukanlah faktor yang pokok dalam konstitusi alam semesta, sedangkan pesimisme hanyalah merupakan suatu produk lingkungan yang jahat. Islam percaya, perbuatan baik akan mendapatkan hasil yang baik pula namun Islam memandang dunia ini bukan seluruhnya baik dan juga bukan sama sekali jahat. Meskipun demikian Islam mengakui adanya dosa, sengsara, dan perjuangan tersebut sebagai fakta yang prinsip. Menurut Islam yang menjadikan manusia itu menderita adalah karena timbulnya rasa takut yang disebabkan tak mengenal atau kebodohannya terhadap lingkungannya dan kurangnya iman kepada Tuhan. Karena itu tingkat kemajuan etika manusia yang paling tinggi akan tercapai bilamana dia benar-benar bebas dari perasaan takut dan khawatir.[191]

Menurut Iqbal, tujuan Islam adalah membebaskan manusia dari rasa takut. Pandangan Islam terhadap alam semesta ini menunjukkan juga pandangannya terhadap hakekat manusia secara metafisik. Jika perasaan takut merupakan suatu kekuatan yang mendominasi manusia dan menghalangi kemajuannya, maka manusia haruslah dipandang sebagai suatu satuan kekuatan dan energy, suatu kemauan, suatu benih kekuatan yang tak terbatas. Pengungkapan kekuatan itu haruslah dijadikan tujuan dalam seluruh kegiatan manusia. Jadi hakikat manusia itu pada dasarnya terdapat pada kemauan, bukan pada intelek dan pemahaman. Menghilangkan dosa dan sengsara serta percaya bahwa manusia itu pada hakekat nya baik merupakan pernyataan dasar dari Islam. Karena itu dilihat dari sudut pandang etika manusia pada dasarnya baik dan damai sedangkan dilihat dari sudut pandang metafisik, demikian Iqbal, manusia adalah satuan energy. Maka cita etik Islam adalah membebaskan manusia dari rasa takut karena ketidaktahuannya dan ini berarti memberikannya suatu pengertian rasa kepribadian dan kemudian menyadarkan dirinya sebagai suatu sumber kekuatan.[192]

Menurut ajaran Islam, demikian Iqbal, pemikiran bahwa manusia merupakan suatu individualitas yang punya kekuatan tak terbatas akan menentukan nilai dari semua perbuatan manusia. Perbuatan yang mempercepat timbulnya rasa individualitas pada manusia adalah baik, dan yang menjadikannya lemah tanpa energi maka itu adalah buruk. Kejahatan adalah kelemahan. Berilah kepada seseorang itu perasaan yang kuat untuk hormat pada pribadinya, dan biarkanlah dia bertindak tanpa rasa takut dan merasa bebas di dalam dunia ciptaan Tuhan ini dan dia akan menghormati pribadi-pribadi lain dan akhirnya dia menjadi orang bijak yang sempurna. Semua bentuk kejahatan yang utama dapat disimpulkan menjadi satu yaitu adanya rasa takut. Maka beberapa bentuk perbuatan yang cenderung melemahkan kekuatan individualitas manusia, seperti peniadaan diri, tidak mementingkan urusan duniawi ditolak oleh Islam. “….. dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni’matan) duniawi …..” (al-Qur’an, al-Qasshash: 77). Sedangkan kebaikan tertinggi menurut Islam adalah berbuat kebajikan, “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta, dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (al-Qur’an 2: 177). Iqbal menyatakan bahwa ayat tersebut dapat dijadikan landasan utama bagi tindakan yang bernilai etis.[193] Sedangkan di tempat lain Iqbal menyatakan bahwa orang Islam dapat menjadi kuat dan bebas dari kehancurannya dengan jalan penegasan diri, ekspresi diri, dan pengembangan diri (“Self-affirmation, self-expression, and self-development”).[194]

Menurut Iqbal, cita religious dan moral manusia bukanlah peniadaan diri tetapi adalah penegasan diri dengan jalan semakin mengindividu. Nabi mengatakan: “Ciptakanlah dalam dirimu sifat-sifat Tuhan.” Semakin jauh jarak manusia dari Tuhan maka pribadinya semakin utuh. Ini bukan berarti dia terserap dalam Tuhan namun dialah yang menyerap Tuhan ke dalam dirinya. Selanjutnya Iqbal mengemukakan bahwa kehidupan ini merupakan suatu gerak asimilasi ke muka. Ego mencapai kebebasannya dengan menyingkirkan semua rintangan yang menghalanginya. Dia setengah bebas dan setengah ditentukan, dan akan mencapai kebebasan yang lebih sempurna dengan mendekati individu yang paling bebas, yaitu Tuhan. Dengan ringkas, hidup ini adalah suatu usaha mencari kebebasan.[195]

Menurut Iqbal, manusia adalah makhluk bebas yang bertanggung jawab, dia pencipta nasibnya sendiri, dan keselamatannya adalah urusannya sendiri. Tidak ada perantara antara Tuhan dan manusia. Tuhan merupakan hak asasi bagi setiap orang. Karena itu, meskipun al-Qur’an menyebut Nabi Isa sebagai Ruh al-Quds tetapi menolak keras terhadap doktrin penebusan dosa karena itu berarti menganggap manusia tidak berdaya sehingga menimbulkan rasa ketergantungan. Perasaan ketergantungan ini dianggap oleh Islam sebagai suatu kekuatan yang menghalangi majunya manusia secara etik.

Dengan maksud memberikan manusia suatu perasaan individualitas yang lebih awal, hukum Islam telah mengemukakan bahwa anak benar-benar bebas dari dosa sampai dia mencapai usia baligh. Akan tetapi terhadap etika Islam ini, demikian Iqbal, terdapat satu penolakan. Jika perkembangan individu manusia itu merupakan prinsip utama dari Islam, mengapa Islam mentolerir perbudakan?

Dalam menjawab pertanyaan tersebut Iqbal mengemukakan bahwa ide tentang buruh bebas adalah asing dan tidak terdapat dalam perekonomian masyarakat lama. Aristoteles memandang perbudakan sebagai faktor yang perlu ada di masyarakat. Nabi Muhammad merupakan rantai penghubung antara dunia lama dan dunia modern dengan menyatakan prinsip persamaan, dan meskipun seperti halnya setiap pembaharu sosial, sedikit membolehkan untuk mempertahankan nama perbudakan karena kondisi sosial di sekelilingnya, namun tidak mengambil seluruh jiwa dari perbudakan tersebut. Bahwa para budak itu mempunyai kesempatan yang sama dengan pengikut Islam lainnya, demikian Iqbal, terbukti melalui fakta bahwa sebagian dari pahlawan, raja, perdana menteri, ulama, dan ahli hukum Islam yang terbesar adalah dari para budak. Selama masa khalifah-khalifah pertama tidak terdapat pembelian budak. Yang ada hanyalah tawanan perang yang dijadikan budak. Sebagian dari pengeluaran Negara disisihkan untuk maksud membebaskan budak, dan para tawanan ada yang dibebaskan begitu saja dan ada pula yang dibebaskan dengan tebusan. Umar membebaskan semua budak setelah berhasilnya dia menaklukkan Jerusalem. Para budak juga dibebaskan sebagai hukuman bagi orang yang membunuh atau melakukan sumpah palsu. Dari contoh di atas, Iqbal mengambil kesimpulan bahwa perbudakan dalam Islam sebenarnya hanyalah nama. Malahan dalam hukum Islam dan etikanya, ide individualitas merupakan suatu prinsip utamanya. Ide individualitas yang menjadi cita etika Islam itu ialah adanya suatu kemauan yang kuat pada tubuh yang kuat.[196]

Masalah penting lainnya yang mendapat perhatian Iqbal adalah doktrin tentang Jabr dan Qadr, apakah manusia bebas ataukah tidak dalam tindakannya. Doktrin ini telah menjadi bahan diskusi sejak dari abad pertama hijrah dan meningkat menjadi perselisihan yang tajam ketika paham Mu’tazilah sangat berpengaruh di bawah perlindungan khalifah al-Ma’mun. Kaum Asy’ariah berusaha memecahkan masalah ini dengan memperkenalkan konsep kasb. Iqbal nampaknya tidak seluruhnya menyetujui pendapat kedua paham tersebut. Kalau Mu’tazilah percaya pada paham kehendak bebas manusia, maka Iqbal beranggapan adanya keterbatasan pada perbuatan, dan manusia berbuat sesuai dengan takdir yang telah ditentukan Tuhan. Tetapi takdir ini ditentukan oleh gerak maju ego pada arah yang benar. Iqbal telah mengekspresikan idenya ini pada sejumlah puisinya dan mengupasnya pada kuliahnya di Madras. Menurut dia gerak maju ego pada arah yang benar menjadikan manusia identik dengan takdirnya.

Iqbal juga mengemukakan bahwa takdir merupakan jangkauan masuk ke dalam suatu benda, ke dalam kemungkinan-kemungkinannya yang dapat dilaksanakan, yang terletak di dalam dasar-dasar kodratnya, dan yang secara berurutan menyatakan diri tanpa merasa adanya paksaan dari luar.[197]

Ide pokok dari basis pemikiran filsafat agama Iqbal adalah konsepnya tentang khudi. Karena begitu kuatnya penekanannya pada khudi dalam menjelaskan ide-idenya maka khudi ini dianggap sebagai sumbangannya yang utama bagi perkembangan pemikiran Islam modern. Tidaklah mudah untuk mengekspresikan konsepsi Iqbal tentang khudi melalui suatu istilah khusus tetapi para penulis telah mencoba untuk menjelaskannya sedapat mungkin. Para penulis umumnya menggunakan istilah ego dan self walaupun yang dimaksudkan Iqbal lebih dari itu. Konsep Iqbal untuk istilahnya itu lebih banyak menekankan pada kesadaran manusia akan potensinya dan pengembangan serta perluasannya melalui gerak dan aktivitas yang tiada henti-hentinya. Meskipun setiap ego mempunyai kecenderungan untuk bergerak ke muka namun ego manusialah yang mempunyai gerak dan kemampuan yang tidak terbatas dan karena itu ego tersebut menambah keindahan dan kekayaan pada alam semesta ini. Penciptaan dari Tuhan adalah suatu proses yang berkesinambungan dan demikian juga sumbangan manusia dalam perkembangan berbagai fase kehidupan, dan karena itu menurut Iqbal, dalam pengertian ini manusia juga adalah sebagai pencipta.[198]

Menurut Iqbal, ego diperkuat oleh perasaan cinta. Istilah ini digunakannya dengan suatu pengertian yang sangat luas dan maksudnya adalah keinginan untuk berasimilasi, untuk menyerap. Bentuk cinta yang tertinggi adalah penciptaan nilai-nilai dan ideal-ideal serta usaha untuk merealisasikannya. Kalau cinta dapat memperkuat ego, maka meminta (su’al) akan memperlemahnya. Semua yang dicapai tanpa usaha pribadi termasuk su’al.[199]

Dalam Asrar-i-Khudi, Iqbal secara tidak langsung mengemukakan prinsip umum etika Islam yang dihubungkannya dengan idenya tentang kepribadian. Menurut Iqbal, gerak dan ego untuk mencapai kesempurnaannya harus melalui tiga tahap, yaitu (a) tunduk pada hukum; (b) kontrol diri, yang merupakan bentuk tertinggi dari kesadaran diri; dan (c) khalifah Allah. Tahap ketiga ini merupakan bentuk tertinggi dari perkembangan manusia di dunia. Dia sudah mencapai ego yang sempurna, insan kamil.[200] Konsepsi Iqbal tentang insan kamil, seperti halnya konsepsi sufi adalah bahwa manusia mampu mencapai tingkat kesempurnaannya melalui peningkatan moral yang tinggi dan peningkatan kualitas-kualitas spiritualnya. Kualitas-kualitas Tuhan direfleksikan padanya dan dia merupakan penghubung antara Dia dan alam semesta. Kualitas ini melengkapi insan kamil dengan suatu kemampuan membimbing makhluk lainnya dan mengubah perjalanan sejarah. Menurut Iqbal, insan kamil dapat mencapai suatu keadaan dimana dia, yang hidup seperti makhluk lainnya, dapat mengetahui realitas segala sesuatu. Dalam keadaan demikian dia dapat dianggap melihat dengan “mata” Tuhan.

Kadang-kadang tidaklah mudah membedakan konsepsi Iqbal ini dengan konsep sufi wahdat al-wujud. Namun haruslah diingat bahwa penafsiran sufi tentang wahdat al-wujud didasarkan pada doktrin fana, yang dalam hal ini Iqbal tidak menyetujuinya.[201] Menurut Schmit, Tuhannya Iqbal berada di dunia ini, sekarang, dengan kita, yang menghadapi problem dari dalam, yang menciptakan suatu dunia baru yang lebih baik bersama kita dan melalui kita.[202] Dari sini terlihat bahwa Iqbal tidak setuju dengan doktrin sufisme yang dianggapnya sebagai sebab utama kemunduran dan kepasifan.

Iqbal mengemukakan ciri utama pengalaman mistik adalah:

1. Point pertama yang harus dicatat tentang pengalaman mistik adalah kesegaran pengalaman itu. Dalam hal ini pengalaman tersebut tidak berbeda dengan tingkatan pengalaman manusia lainnya yang memberikan data untuk pengetahuan. Semua pengalaman sifatnya segera. Karena wilayah pengalaman normal dapat diinterpretasikan oleh data inderawi untuk pengetahuan kita tentang dunia luar demikian juga dengan wilayah pengalaman mistik dapat diinterpretasikan untuk pengetahuan kita tentang Tuhan. Kesegaran pengalaman mistik hanyalah berarti bahwa kita mengetahui Tuhan sebagaimana kita mengetahui objek-objek lain. Tuhan bukanlah wujud matematik atau suatu sistem konsep yang saling berhubungan satu sama lain dan tidak mempunyai referensinya kepada pengalaman.

2, Point kedua adalah keseluruhan pengalaman mistik tidak dapat dianalisa. Bilamana saya mengalami meja di muka saya maka data pengalaman yang tak terhingga bergabung ke dalam pengalaman tunggal dari meja tersebut. Dari data yang banyak itu saya memilih data yang jatuh ke dalam aturan ruang dan waktu tertentu dan menyudahinya dengan mengambil referensi kepada meja. Dalam hal pengalaman mistik, bagaimana pun kayanya pengalaman itu, pikiran direduksi kepada tingkat minimum dan analisa seperti itu tidaklah mungkin. Tetapi perbedaan dengan keadaan mistik ini dari kesadaran rasional yang biasa tidak berarti pemutusan dengan kesadaran yang normal.

3. Point ketiga untuk dicatat adalah bahwa bagi orang mistik pengalaman mistik itu adalah suatu saat terjadinya hubungan dengan Diri yang unik, transenden, yang meliputi, dan menekan pribadi dari subjek yang mengalami.

4. Selama kualitas pengalaman mistik secara langsung dialami, jelas bahwa pengalaman tersebut tidak bisa dikomunikasikan. Pengalaman mistik lebih banyak berhubungan dengan perasaan daripada kepada pikiran.

5. Hubungan yang sangat akrab dengan yang abadi yang memberikannya suatu perasaan tidak nyata tentang waktu tidak berarti suatu keterpisahan dengan waktu itu sendiri.[203]

Iqbal juga membicarakan doktrin Tauhid dalam hubungannya dengan etika. Prinsip Tauhid menuntut kesetiaan pada Tuhan dan Tuhan adalah dasar spiritual akhir dari semua kehidupan. Karena kesetiaan kepada Tuhan sama dengan kesetiaan manusia kepada alam idealnya sendiri. Prinsip ini dapat mempersatukan manusia atas dasar persamaan, kebebasan, dan persaudaraan. Secara psikologis, prinsip Tauhid berusaha untuk mendirikan suatu kesatuan yang integral bagi dunia yang hancur dan berantakan. Doktrin Tauhid juga membawa suatu prinsip tindakan dan membentuk basis kemajuan manusia. Dia bukan hanya keyakinan kebenaran tetapi penerimaan suatu dalil sebagai suatu basis tindakan.[204]

Namun sangat disayangkan, menurut Iqbal, dalam sejarah Islam arti cita-cita moral dan sosial telah berangsur-angsur ke luar dari Islam di bawah pengaruh keadaan setempat. Dasar Tauhid yang murni sedikit banyak sudah dimasuki pengaruh berhala, dan cita-cita etika Islam yang universal dan impersonal telah hanyut ke dalam proses keadaan setempat. Karena itu harus ditemukan kembali dasar-dasar kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan yang terdapat dalam Islam untuk membina cita-cita sosial, moral, dan politik yang bersifat universal.[205] Di sini Iqbal melihat bahwa jiwa Islam yang universal itu memilih dasar bermasyarakat umat manusia pada iman kepada Tuhan Yang Maha Esa dan sebagai konsekuensinya adalah percaya kepada persaudaraan dan persamaan umat manusia.

Demikian aspek-aspek etika yang dikemukakan Iqbal yang diambil dari pemikirannya dalam usahanya untuk meningkatkan martabat kaum muslimin pada umumnya dan muslim India pada khususnya. Pemikirannya tentang khudi, sering diterjemahkan dengan ego dan self, kebebasan serta tanggung jawab, baik dan buruk, merupakan pembahasan etika secara umum. Namun disamping mengaitkannya dengan pemikiran filosofis dia juga mengambil rujukan dari agama, yaitu agama Islam dan membandingkannya juga dengan agama lain. Dengan demikian pemikiran etika Iqbal sebenarnya adalah pemikiran etika yang digali dari ajaran Islam. Namun seperti yang dikatakan W. C. Smith dalam bukunya Modern Islam in India, bahwa Iqbal menolak etika pasif dan menyerukan vitalitas. Walaupun Iqbal tidak mengemukakan struktur etika secara lengkap tapi dia telah memberikan dasar-dasar etika itu secara pasti, mendalam dan baik.[206]

Maksud penulis mengemukakan etika Iqbal secara panjang lebar di sini karena adanya perbedaan antara konsep ego dan konsep qalb diantara kedua tokoh ini. Realisasi diri dalam etika Iqbal adalah Khalifah Allah, dan realisasi diri dalam tasawuf al-Ghazali adalah ma’rifah. Sedangkan neosufisme sebagaimana telah dikemuakan di atas lebih menekankan kepada konsep Khalifah Allah itu.

Kata Khalifah terdapat dalam surah al-Baqarah: 30, dan surah Shad, ayat 26;[207] Al-Baqarah: 30

øŒÎ)ur tA$s% š/u Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ÎoTÎ) ×@Ïã%y` Îû ÇÚöF{$# ZpxÿÎ=yz ( (#þqä9$s% ã@yèøgrBr& $pkŽÏù `tB ßÅ¡øÿム$pkŽÏù à7Ïÿó¡our uä!$tBÏe$!$# ß`øtwUur ßxÎm7|¡çR x8ÏôJpt¿2 â¨Ïds)çRur y7s9 ( tA$s% þÎoTÎ) ãNn=ôãr& $tB Ÿw tbqßJn=÷ès? ÇÌÉÈ

Shaad: 26

ߊ¼ãr#y»tƒ $¯RÎ) y7»oYù=yèy_ ZpxÿÎ=yz Îû ÇÚöF{$# Läl÷n$$sù tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# Èd,ptø:$$Î/ Ÿwur ÆìÎ7®Ks? 3uqygø9$# y7¯=ÅÒãŠsù `tã È@Î6y «!$# 4 ¨bÎ) tûïÏ%©!$# tbq=ÅÒtƒ `tã È@Î6y «!$# öNßgs9 Ò>#xtã 7ƒÏx© $yJÎ/ (#qÝ¡nS tPöqtƒ É>$|¡Ïtø:$# ÇËÏÈ

Arti khalifah dalam surah al-Baqarah: 30 berbeda dengan yang terdapat dalam surat Shaad: 26. “Arti khalifah dalam ayat tersebut terakhir ini mempunyai arti penguasa, dan mempunyai proses yang melibatkan manusia, karena Tuhan memakai damir mutakallim ma’al gair (inna nahnu) sedangkan pada ayat 30 al-Baqarah pengangkatan Adam merupakan otoritasNya semata dengan bukti dipakainya damir mutakallim wahdah (inni).[208]

Walaupun kedua ayat tersebut mempunyai perbedaan pengertian tapi kedua ayat tersebut manunjuk arti aktif, untuk mengabdi kepada-Nya di bumi, memerintahkan manusia untuk mengembara di bumi untuk mencari karuniaNya, menikmati hasil alam, kerja pembangunan, reproduksi dan pendidikan manusia untuk melanjutkan dan melestarikan hasil-hasil usahanya sebagai penentu kekhalifahan manusia, dan semuanya itu dianggap amal shaleh dan ibadah kepadaNya.[209]

Pendapat ini senada dengan pendapat Muhammad Iqbal dalam bukunya The Reconstruction of Religious Thought in Islam, yang menyatakan bahwa secara majazi manusia di dunia adalah sebagai “teman sekerja” Tuhan dalam mengelola alam. Selain itu Iqbal juga menyatakan bahwa peran manusia itu sedemikian hebatnya karena dua faktor, faktor potensi manusia dan kondisi alam.[210]

Dengan demikian, tugas kekhalifahan manusia adalah untuk memakmurkan bumi, menegakkan kebenaran dan keadilan, sebagai motivator dan dinamisator pembangunan. Sedangkan bekal kekhalifahan yang harus dimiliki adalah kemampuan intelektual, kreativitas tinggi, pengembangan diri dan berkomunikasi, mempunyai kemampuan teknis, serta kemampuan meneladani Tuhan.[211]

Misi utama manusia adalah misi moral dan intelektual. Dia merupakan jembatan kosmis tempat lewat kehendak Allah, dalam totalitas dan waktu dan menjadikannya aktual. Dengan dilengkapi akal dan kemampuan mengkonseptualisasikan, manusia diberi petunjuk melalui wahyu Tuhan dalam terma-terma keutamaan moral. Alam ini baginya adalah wahana ujian. Oleh karena itu, manusia memegang tanggung jawab kekhalifahan dan harus mempertanggungjawabkannya dihadapan Allah Swt.[212]

Jadi ada sedikit yang perlu direnungkan kembali dalam ajaran sufi al-Ghazali. Al-Ghazali memang telah menanamkan misi moral dan intelektual dalam ajarannya. Tetapi dia menulis bahwa orang-orang sufi lebih tertarik pada ilmu ilhamiyah dari pada ilmu ta’limiyah.[213] Maksudnya kecendrungan orang sufi itu kepada ilmu-ilmu ilhamiyah bukan kepada ilmu-ilmu ta’limiyah. Karena itu mereka tidak berminat mempelajari ilmu, menghasilkan apa yang dikarang dan dibahas tentang pendapat dan dalil-dalil yang dibahas dalam ilmu-ilmu ta’limiyah.

Dengan sedikit pernyataan itu tidak diperkirakan mendapat pengaruh yang besar sekali terhadap umat Islam. Al-Ghazali disamping mendapat banyak pujian, tapi tidak sedikit pula orang yang menganggapnya bertanggungjawab terhadap kemaslahatan umat Islam.[214] Namun haruslah dapat dilihat secara lebih objektif, karena ini keputusan al-Ghazali untuk mengatasi kekacauan pada masa hidupnya sekitar abad ke11/12 Masehi.

Meskipun demikian, penulis berpendapat bahwa tasawuf al-Ghazali masih sangat relevan sampai sekarang ini. Dengan melihat sedikit ketidaksesuaian dengan zaman sekarang adalah keliru kalau semua pendapat al-Ghazali tidak relevan. Akhirnya untuk mencari jalan tengah antara etika realisasi diri dan etika tasawuf al-Ghazali, filsafat Iqbal tentang ego dapat dijadikan sintesa antara dua etika itu, etika realisasi diri dan etika sufi.



[135] M. Abul Quasem, Etika al-Ghazali (Bandung: Penerbit Pustaka, 1988), hlm. 9-10.

[136] Ibid., hlm. 10.

[137] Ibid., hlm. 13.

[138] Ibid., hlm. 13-14.

[139] Ibid., hlm. 26.

[140] Ibid., hlm. 160.

[141] Sewaktu al-Ghazali sudah memantapkan dirinya dalam tasawuf dan kembali ke negerinya di Thus untuk mengamalkan ajaran-ajaran sufi, dia diminta lagi untuk mengajar di Bagdad. Al-Ghazali kelihatan sangat terpaksa menerima kepercayaan ini, Lihat bukunya al-Munqiẓ min ad-Ḍalal.

[142] Ibid., hlm. 130.

[143] M. Abul Quasem, Etika Al-Ghazali (Bandung: Penerbit Pustaka, 1988), hlm. 48.

[144] Ibid., hlm. 37.

[145] Ibid.

[146] Ibid., hlm. 135-136.

[147] Ibid., hlm. 139.

[148] Ibid., hlm. 140.

[149] Ibid., hlm. 140-141.

[150] Quasem, Etika al-Ghazali, hlm. 55.

[151] M. Amin Abdullah, The Idea of Universality …., hlm. 164-165.

[152] M. Amin Syukur, Menggugat Tasawuf (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm 103.

[153] Syaifan Nur, Filsafat Wujud Mulla Sadra (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 2.

[154] Al-Munqidz, hlm. 85.

[155] M. Amin Syukur, “Masa Depan Tasawuf”, dalam IAIN Walisongo, Tasawuf dan Krisis (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 38-39.

[156] Ibid., hlm. 17.

[157] Ibid., hlm. 40-43.

[158] H. Hamzah Ya’qub, Etika Islam (Bandung: Diponegoro, 1991), hlm. 14.

[159] Syed Nawab Haidar Naqwi, Etika dan Ilmu Ekonomi, terj. Husin Anis dan Asep Hikmat, (Bandung: Mizan, 1991), hlm. 77.

[160] Ibid., hlm. 77-79.

[161] Ibid., hlm. 80-82.

[162] Ibid., hlm. 82-85,

[163] Ibid., 86-89.

[164] M. Amin Syukur, Tasawuf Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 164-165,

[165] Klasifikasi yang dikemukakan De Boer ini sebenarnya adalah klasifikasi Fiqh tentang wajib, sunnat, mubah, makruh, dan haram. Kalau dikaitkan dengan nilai baik dan buruk maka kategori wajib berarti baik, haram sama dengan buruk, sunnat sama dengan agak baik, makruh sama dengan agak buruk, sedangkan mubah adalah netral.

[166] T.J.De Boer, The History of Philosophy in Islam (London: Luzac & Comp. Ltd., 1970). Hlm. 38-40.

[167] Sekelompok pemikir muslim dari kalangan Syi’ah Ismailiah yang berpusat di Basrah sekitar abad ke 10 M.

[168] T.J. De Boer, The History of Philosophy in Islam, hlm. 94-95..

[169] Ibid., hlm. 94-95.

[170] Ibid., hlm. 186-187.

[171] Ibid., hlm. 128.

[172] Ibn Miskawaih, Tahdzib al-Akhlaq, terj. Helmi Hidayat, (Bandung: Mizan, 1985), hlm. 35-54.

[173] Ibid., hlm. 56-87.

[174] Ibid., hlm. 91-108.

[175] Ibid., hlm. 110-131.

[176] Ibid., hlm. 133-159.

[177] Ibid., hlm. 162-191.

[178] Al-Hijr: 29: فإذا سويته و نفخت من روحى

[179] Hadits Nabi Saw: تخلقوا بأخلاق الله

[180] Khalifa Abdul Hakim, Islamic Ideology (Lahore: Institute of Islamic Culture, 1974), hlm. 128-140.

[181] Ahmad Mahmud Shubhi, Filsafat Etika, terj. Yunan Askaruzzaman Ahmad, (Jakarta: Penerbit PT Serambi Ilmu Semesta, 2001), hlm. 18.

[182] Ibid., hlm. 15-18.

[183] Ibid., hlm. 18-20.

[184] Ibid., hlm.. 27-32.

[185] Ibid., hlm. 34-35.

[186] Muhammad Iqbal, Islam as An Ethical & A Political Ideal, S. Y. Hashimy (ed.), (Lahore: Islamic Book Service, 1977), hlm. 53-54.

[187] Ibid., hlm. 55.

[188] Ibid., hlm. 56-57.

[189] ولآ خوف عليهم ولا هم يهزنون

[190] الآ إن لله من فى السموات و من فى الأرض .....

[191] Muh Iqbal, Islam as An Ethical and A Political Ideal, hlm. 57-62.

[192] Ibid., hlm. 64-65.

[193] Ibid., hlm. 67.

[194] Muhammad Iqbal, The Secret of The Self, (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1975), hlm. xii.

[195] Ibid., hlm. xviii-xxi.

[196] Muhammad Iqbal, Islam as An Ethical & A Political Ideal, hlm. 70-74.

[197] Muhammad Iqbal, Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam, terj. Ali Audah, et. Al., (Jakarta: Tintamas, 1966), hlm. 51.

[198] S. Moinul Haq, Islamic Thought and Movements (Karachi: Pakistan Historical Society, 1979), hlm. 517.

[199] Muhammad Iqbal, The Secret of the Self, hlm. xxv.

[200] Ibid., hlm. xxvi-xxvii.

[201] S. Moinul Haq, Islamic Thought and Movements, hlm. 518-521.

[202] Wilfred Cantwell Schmit, Modern Islam in India (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1969), hlm. 122.

[203] Mohammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (London: Humphrey Milford, 1934), hlm. 17-21.

[204] Ibid., hlm. 151.

[205] Ibid., hlm. 152-153.

[206] W.C. Smith, Modern Islam in India, hlm. 126-127.

[207] Arti al-Baqarah: 30 “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah padanya, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”

Arti Shad: 26 “(Allah berfirman), “Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan engkau khalifah di bumi, maka berilah keputusan antara manusia dengan benar, dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, niscaya ia akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah bagi mereka azab yang pedih karena mereka melupakan hari perhitungan.”

[208] M.Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 167.

[209] Ibid., hlm. 168.

[210] |Ibid.

[211] Ibid., hlm. 169-175.

[212] M. Amin Syukur, Tasawuf Sosial, hlm. 152-153.

[213] Ihya, jilid III, hlm. 221.

[214] Yusuf Qardhawi, Al-Ghazali antara Pro dan Kontra (Surabaya: Pustaka Progressif, 1996), hlm. 229.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar