Kamis, 03 Februari 2011

05 Penutup

BAB V

P E N U T U P

A. Kesimpulan

1. Konsep tentang manusia

Konsep manusia dalam etika realisasi diri berbeda dengan konsep manusia yang terdapat dalam tasawuf. Etika realisasi diri memandang manusia itu sebagai makhluk yang memiliki instink, kesadaran diri, dan kemampuan spiritual. Instink dan kesadaran diri menopang kemampuan spiritual dalam mengaktualkan potensi diri. Etika realisasi diri berusaha mewujudkan dan mengaktualkan diri seseorang sehingga dengan teraktualkannya diri tersebut tingkat kemampuannya lebih berkualitas, dan peranannya lebih maksimal serta yang bersangkutan mendapatkan kebahagiaannya.

Etika sufi lebih memandang manusia kepada hati. Dengan membersihkan hati instink bawaan dapat dikuasai, dan jalan menuju Tuhan terbuka lebar. Realisasi diri lebih utama ditujukan kepada Tuhan, dengan maksud untuk mendapatkan kebahagiaan akhirat. Kebahagiaan duniawi hanyalah kebahagiaan sementara dan semu. Konsepsi Muhammad Iqbal tentang manusia dapat diambil sebagai jalan tengah antara etika realisasi diri dan etka sufi. Dengan lebih menekankan kepada kekuatan ego manusia Iqbal menghendaki agar manusia dapat berperan sebagai Khalfah Allah di bumi. Dengan demikian aspek individu, aspek sosial dan aspek keagamaan dalam diri manusia juga dikembangkan.

2. Hidup Yang Baik

Bagi etika realisasi diri hidup yang baik itu adalah realisasi diri. Dengan realisasi diri seorang lebih berperan dalam hidupnya. Dengan demikian dia akan mendapatkan keutamaan dan kebahagiaan. Yang ingin dicapai oleh etika realisasi diri adalah keberhasilan hidup duniawi. Kebahagiaan duniawi akan mengiringi seseorang yang berhasil mengaktualkan potensi-potensi dalam dirinya. Bagi etika sufi hidup yang baik itu dengan jalan tasawuf. Dengan bertasawuf orang akan bersih jiwanya dan dapat mendekatkan dirinya kepada Tuhan. Kebahagiaan akan tercapai bilamana jiwa bersih.

Kedua cara hidup ini sama-sama berat sebelah. Realisasi diri lebih menekankan kepada keberhasilan duniawi, sedangkan tasawuf lebih berat kepada kehidupan sesudah mati. Muhammad Iqbal tidak sependapat dengan etika sufi yang menafikan peran ego dalam kehidupan. Muhammad Iqbal menghendaki agar ego manusia itu kuat dan tidak menegasikan dirinya.

3. Tujuan Hidup

Tujuan yang akan dicapai oleh etika tasawuf adalah kebahagiaan ma’rifatullah atau kebahagiaan akhirat dan menganggap kebahagiaan duniawi ini hanyalah bersifat sementara. Tujuan ini akan terealisir dengan sendirinya apabila pengikut ajaran tasawuf ini mengikuti langkah-langkah atau tarikat yang diajarkan oleh gurunya. Untuk menuju tujuan tersebut seorang sufi melalui maqam-maqam tertentu. Apabila dia berhasil sampai ke suatu maqam dia akan merasakan sesuatu yang dinamakan hal. Demikianlah seterusnya sampai pintu ma’rfah terbuka baginya.

Pada etika realisasi diri tujuan hidupnya adalah realisasi diri. Inilah tujuan .akhirnya. Tujuan lainnya adalah tujuan sementara atau tujuan yang dianggap sebagai sarana untuk menuju kepada tujuan yang lebih tinggi. Yang pertama adalah tujuan individual, kedua tujuan sosial, dan akhirnya ke tujuan universal.

4. Jalan yang Ditempuh untuk Mencapai Tujuan

Jalan yang ditempuh untuk mencapai tujuan akhir atau kebahagiaan dalam etika tasawuf adalah dengan membersihkan diri dan menempuh jalan sufi. Dia harus memelatih jiwanya, dapat mengendalikan syahwat, menjaga lidah, menghindari marah, dendam dan dengki, jangan terpedaya oleh dunia, tercelanya cinta harta dan kikir, pangkat dan riya, tercelanya sombong. Adapun perbuatan yang menyelamatkan adalah taubat, shabar dan syukur, takut dan harap, fakir dan zuhud, tauhid dan tawakkal, cinta dan rindu, ikhlas, tafakur, dan ingat mati.

Pada etika realisasi diri jalan yang ditempuh untuk realisasi diri yang sempurna adalah dengan pertama-tama merealisasikan diri individual melalui penyesuaian kegiatan-kegiatan yang kegiatan tersebut dijadian sarana untuk meningkatkan kepentingan individual. Realisasi diri sosial melalui penyesuaian kepentingan individual kepada kepentingan orang lain yang aktivitasnya dijadikan sebagai sarana untuk kesejahteraan sosial. Sedangkan realisasi diri universal adalah melalui penyesuaian kesejahteraan manusia kepada tujuan yang universal.

B. Saran-saran

Perlu pemikiran baru dalam menata urusan keagamaan dalam Islam, karena Islam bukan hanya urusan ukhrawi tetapi juga urusan duniawi. Meningkatkan diri berarti mengaktualkan potensi diri secara maksimal.

Penguasaan ekonomi dan kesejahteraan hidup materi hendaknya dilihat sebagai meningkatnya pembayar zakat, shadaqah dan infaq. Ini merupakan ibadah bagi yang bersangkutan. Penguasaan ilmu pengetahuan menjadikan ilmu yang ditemukan merupakan ilmu pengetahuan yang islami. Penguasaan teknologi dan informasi dapat menjadikan orang kagum atas kebesaran pencipta alam semesta ini. Begitu juga dengan penguasaan kemampuan-kemampuan lainnya.

Untuk mengatasi itu semua perlu peningkatan prestasi lembaga pendidikan Islam dalam hal penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Lembaga pendidikan Islam akan dapat menanamkan kepada anak didiknya bahwa kemampuan dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi juga merupakan ajaran agama, tanpa memandang apakah hukumnya fardhu kifayah atau fardhu ‘ain.

Dalam hal ini perlu dikemukakan tanggung jawab sosial umat Islam di abad ke-21 ini. Tanggung jawab itu berupa tanggung jawab spiritual, tanggung jawab etik, tanggung jawab politik, tanggung jawab pluralism agama, dan tanggung jawab intelektual. Tasawuf dituntut mengarahkan orientasi dan melaksanakan tanggung jawab baru, dari penyempurnaan moral individual ke moral structural (sosial), yaitu dari jiwa ke tubuh, dari rohani ke jasmani, dari etika individual ke politik sosial, dari meditasi ke tindakan terbuka, dari isolasi ke gerakan sosial-politik, dari pasif ke aktif, dan dari kesatuan hayal ke kesatuan nyata.

Tanggung jawab spiritual menjadi perhatian karena masyarakat sekarang terlalu mendewa-dewakan ilmu pengetahuan dan teknologi yang akhirnya mereka menjadi terpinggirkan sendiri oleh hasil karyanya itu. Ini disebabkan mereka merasa ilmu pengetahuan dan teknologi itu sudah cukup tanpa perlu bimbingan agama lagi, seperti umumnya kehidupan masyarakat Barat. Kehilangan visi keilahian menimbulkan adanya kehampaan spiritual. Akibatnya orang banyak menjadi stress dan gelisah, tidak mengetahui dari mana, akan ke mana dan untuk apa hidup ini.

Sebab terjadinya kegelisahan masyarakat modern itu adalah karena takut kehilangan apa yang dimiliki, timbulnya rasa khawatir terhadap masa depan, rasa kecewa terhadap hasil kerja dan banyak melakukan pelanggaran dan dosa. Untuk itu perlu terapi berupa mengamalkan praktek tasawuf. Menurut ajaran tasawuf penyelesaian dan perbaikan tidak akan tercapai kalau diatasi dengan hanya melihat kehidupan lahir saja. Kehidupan tasawuf akan berhasil mengatasi keringnya nilai hidup spiritual ini.

Tanggung jawab etik sangat berperan di abad ini karena degradasi moral yang ditimbulkan oleh modernisasi dan industrialisasi dan globalisasi. Ada kecenderungan untuk hidup berlebihan dengan materi yang berlimpah sehingga menimbulkan prilaku menyimpang seperti korupsi dan manipulasi. Sifat hasud serta riya juga mudah timbul. Untuk menghilangkan akibat negatif tersebut perlu penghayatan keimanan dan ibadah, mengadakan latihan secara bersungguh-sungguh. Perlu adanya instrospeksi (muhasabah) terhadap diri sendiri. Untuk mengatasi hawa nafsu, tasawuf memberikan jalan keluar berupa riyadah dan mujahadah, pengosongan jiwa dari sifat-sifat tercela (takhalli), pengisian diri dengan sifat-sifat terpuji (tahalli), dan tercapainya sinar Ilahi (tajalli).

Tanggung jawab politik juga menjadi urusan tasawuf. Karena itu tasawuf tidak perlu lagi menjauhi kekuasaan. Dari perjalanan sejarah dapat diketahui bahwa ajaran tasawuf banyak berhasil mempertahankan keyakinan umat terhadap dominasi asing, baik yang ingin menguasai kekayaan alam, kebudayaan atau pun keimanan umat.

Tanggung jawab pluralisme umat perlu ditekankan untuk mencegah kerawanan sosial yang terjadi. Negara yang berpenduduk dengan aneka ragam suku bangsa dan bahasa, adat istiadat yang berbeda, keyakinan yang bermacam-macam rawan menimbulkan konflik sosial. Untuk itu tasawuf perlu menanamkan toleransi yang tinggi terhadap adanya perbedaan-perbedaan tersebut.

Tanggung jawab intelektual perlu mendapat perhatian bagi pengamal tasawuf. Secara epistemologis tasawuf memakai intuisi yang bisa dijadikan alternatif dari rasionalisme dan empirisme. Intuisi juga merupakan salah satu tipe pengetahuan yang memiliki watak tinggi dari pengetahuan indera dan akal. Konsep elan vital memiliki kesejajaran dengan konsep al-iradah dari al-Ghazali, yakni suatu kekhususan yang berupa dorongan kea rah baik dan berusaha untuk mencapainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar