Kamis, 03 Februari 2011

BAB II

ETIKA REALISASI DIRI

A. Pengertian Etika Realisasi Diri

Realisasi-diri adalah suatu istilah yang bagi sebagian orang masih dianggap begitu kabur dan tidak jelas dalam konotasinya. Ketidakjelasannya ini sebagiannya disebabkan ambiguitas dari kata self, dan juga sebagiannya disebabkan oleh kekaburan arti realisasi. Self itu sendiri dapat didefinisikan yang bisa menimbulkan penafsiran bahwa setiap individu memiliki banyak self, seperti diri jasmaniah, diri binatang, diri rasional, dan diri sosial. Kata realisasi, juga, adalah suatu kata yang, dalam hubungan ini, bisa diambil untuk termasuk atau tidak termasuk di dalamnya apa yang disebut dengan, self-suppression atau self-sacrifice (pengorbanan diri). Dengan demikian, sebelum suatu pengertian yang tepat dapat disangkutkan pada gabungan istilah realisasi-diri, pertama-tama adalah semestinya untuk mendefinisikan dengan tepat apa yang dimaksud dengan diri (self) dan realisasi secara berturut-turut.

Realisasi diri menurut Hedonisme

Jika diri dipahami secara menonjol sebagai yang bersifat memiliki perasaan, dan kebaikan tertinggi bagi individu karena itu adalah kesenangan (pleasure), maka realisasi diri akan tercapai dengan hidup yang mencari bagi dirinya sendiri sekuatnya perasaan yang dapat menyenangkan. Ini adalah doktrin Cyrenaics.[52] Para anggotanya yang lebih rendah akhlaknya dari aliran ini cenderung untuk mengidentifikasi realisasi diri dengan apa yang lebih tepat disebut dengan perasaan puas diri (self-indulgence). Akan tetapi, pengikut Cyrenaics yang lebih baik tidak membatasi kesenangan pada kesenangan-kesenangan inderawi, tetapi kepada bentuk-bentuk yang lebih tinggi dari kesenangan dalam pikiran, seperti senangnya akan pertemanan. Demikian juga pengikut paham Epicurus (341-270 s.M.) menanggalkan sensualisme dan perbudakan kepada keinginan yang lebih rendah, sementara menyetujui hedonisme sama seperti pendapat Cyrenaics itu.

Hedonisme merupakan suatu teori etika tertua, sederhana, dan kebenda-bendaan yang menganggap kesenangan (kenikmatan) adalah tujuan akhir hidup yang tertinggi. Pengertian ini dirumuskan oleh Aristippus yang salah menafsirkan perkataan gurunya, Socrates, yang mengatakan bahwa tujuan hidup adalah kebahagiaan. Bagi Aristippus kebahagiaan sama dengan kesenangan. Kesenangan itu ada berupa kesenangan intelektual, kesenangan panca indera dan kesenangan sesaat. Suatu perbuatan dikatakan baik sejauh memberikan kesenangan dan kenikmatan.

Hedonisme dikemukakan lagi oleh Epicurus dan dihubungkannya dengan teori fisika dari Demokritos, sehingga merupakan satu-satunya etika yang murni dengan materialism mekanistis. Bagi Epicurus tujuan hidup adalah kedamaian, menghindarkan rasa takut terhadap dewa-dewa dan rasa takut terhadap maut. Kesenangan intelektual lebih baik meskipun kesenangan inderawi juga perlu.[53]

Hedonisme terkenal pertama kali di Yunani yang menganggap ukuran tindakan baik adalah hedone yang berarti kenikmatan dan kepuasan rasa. Penganut hedonisme menganggap sama antara rasa puas dan rasa bahagia. Bahagia dapat menjadikan manusia tenang walaupun kepuasan rasa tidaklah demikian. Karena itu terdapat macam dan sifat kepuasan. Ada kepuasan yang merupakan kebahagiaan dan menenangkan tetapi ada juga kepuasan rasa yang menimbulkan kehausan dan kegelisahan.[54]

Realisasi diri menurut rasionalisme

Jika watak rasional manusia dianggap sebagai ekspressi yang paling benar dari diri (self), dan kebaikan individual manusia yang tertinggi karena itu dicari dengan mengontrol diri yang lebih rendah atau diri binatang melalui akal yang benar, maka realisasi diri akan tercapai dengan tercapainya rasionalitas dan akan melibatkan penindasan (suppression) terhadap banyak dorongan-dorongan (impulses) dan keinginan-keinginan (desires): maka keseluruhan diri (self), atau diri dalam semua bidang aktivitas konatifnya, dengan demikian akan tidak direalisasikan. Realisasi diri pada diri rasional mengorbankan diri yang bersifat memiliki perasaan.

Realisasi diri adalah audaemonisme

Bertentangan dengan hedonisme dan rasionalisme dimana keduanya memang berlaku adil tidak lain kecuali kepada satu sisi dari sifat kita yang kompleks, eudaemonisme dari Aristoteles (384-322 s.M) bisa dijadikan contoh. Filosof ini berpendapat bahwa kebahagiaan adalah kebaikan utama, dan menganggap kebahagiaan sebagai hasil dari kehidupan yang sesuai dengan kebajikan. Dalam eudaemonisme, diri dunia yang harus direalisasikan, dan para penulis aliran ini menekankan, lebih dari yang ditekankan oleh pengikut hedonis kuno, penekanan kesenangan-kesenangan itu pada akal, sedang pada waktu yang sama mereka menentukan nilai lebih daripada yang ditentukan oleh Kaum Stoa terhadap kebaikan-kebaikan eksternal dari hidup. Dengan demikian eudaemonisme melihat realisasi diri, sesungguhnya jauh lebih lengkap daripada yang dilihat oleh hedonisme dan rasionalisme, perkembangan yang lengkap dari semua sisi diri, dan tidak menyetujui penghancuran salah satu dari diri (self) itu.

Aristoteles dalam Nichomachean Ethics telah menulis karangan etika yang pertama kali dan benar-benar sistematik. Sikapnya hanya berbeda dengan sikap Plato dalam penekanan. Akal, kemakmuran, kesederhanaan (moderation) merupakan konsep-konsep yang pokok. Fungsi yang khusus bagi manusia dalam kehidupannya adalah berfikir. Kehidupan yang baik menjauhi dua ekstrim, yakni penekanan yang keras dan mengikuti keinginan yang keras. Kehidupan yang baik mencakup perkembangan yang harmonis dari fungsi organism yang normal. Teori realisasi diri menekankan perkembangan segala fungsi pribadi sebagai kebaikan yang terbesar. Tak ada yang dapat diterima sebagai ukuran yang memuaskan kecuali perkembangan yang harmonis dari segala segi watak manusia. Kebaikan yang setinggi-tingginya bagi manusia ialah mewujudkan kemampuannya secara penuh sebagai manusia. Menurut Aristoteles, kemampuan yang membedakan manusia dari makhluk-makhluk lain adalah budinya.

Aliran perwujudan diri ini sejak zaman Yunani Kuno sampai sekarang terkenal sebagai aliran etika dan juga di dunia pendidikan. Yang baik menurut aliran ini adalah “pengisian sesuatu” terhadap diri manusia. Maksudnya perkembangan secara harmonis segala kesanggupan manusia yang normal sehingga seorang berhasil menjalani penghidupan yang lebih baik. Termasuk juga di sini perkembangan fungsi jiwa yang lengkap yang menjadikan manusia itu makhluk yang berbudi dan berguna bagi masyarakatnya.[55]

Dari apa yang telah dikatakan akan nampak bahwa realisasi-diri, dalam bentuk-bentuknya itu, diakui sebagai kebaikan utama oleh semua bentuk egoisme, yang berbeda dari altruisme dan sistem-sistem yang menekankan diri sosial (social self).

Dalam pengertiannya yang luas, realisasi diri akan menunjuk perkembangan kepribadian sampai kepada puncaknya, kepribadian yang digunakan di sini untuk menunjuk kepada hakekat manusia yang terakutalisasikan secara penuh, yang berbeda dengan kehidupan individual dari anak-anak, orang yang masih biadab, atau binatang yang non-rasional. Semuanya ini mencari realisasi diri dan paling tidak mereka menuju kepada pemeliharaan diri (self-preservation) dan perbaikan diri.

Tetapi realisasi diri yang lebih luas ini, atau pencapaian kepribadian yang lengkap, sebagiannya akan tercapai dengan sintesa atau koordinasi dari unsur-unsur pengalaman konatif, dan sebagiannya pada perkembangan dari semua kemampuan jiwa (soul). Yang pertama dari proses-proses ini melibatkan kontrol yang progresif terhadap dorongan-dorongan, keinginan, dan nafsu, dengan pandangan untuk menyelamatkan suatu kehidupan yang penuh dan tak terhalang bagi diri keseluruhan, termasuk kemampuan-kemampuan yang lebih tinggi dari akal, kemauan (will), dan perasaan moral (moral sense). Sarana untuk menyelamatkan hal itu maka dorongan atau keinginan yang lewat sesaat, dimana kegemaran atau pengejarannya akan merusakkan kebahagiaan dan kesejahteraan dan merintangi tujuan yang tak kunjung hilang dari seluruh diri atau kepribadian, maka hal itu tidak dibolehkan untuk bermain secara bebas. Sebab dorongan-dorongan yang lewat dan nafsu-nafsu itu sering berkonflik dengan pencapaian kebahagiaan yang abadi; dan keinginan-keinginan seringkali berkonflik satu sama lain. Yang terakhir dari proses itu termasuk dengan pencapaian kesempurnaan diri akan melibatkan penggunaan secara penuh dari semua 'bakat, atau anugerah-anugerah (endowments) individual, apakah bakat-bakat itu sedikit atau banyak, besar atau kecil, yang dalam hal itu semua ini bisa bersifat instrumental bagi moralisasi yang paling lengkap dan penyempurnaan dari diri (self) itu.

Realisasi diri dan altruisme

Pengertian yang beraneka ragam dari realisasi-diri yang baru saja dinyatakan satu persatu dan didefnisikan, masih perlu dihadapkan dengan konsep altruisme dalam etika karena realisasi diri dalam aktualitas selalu melibatkan negasi-diri (self-negation). Bagi orang altruist realisasi diri bukanlah kebaikan tertinggi karena tidak dapat membantu realisasi diri-diri orang yang lain dari mereka; unsur diri sosial dalam manusia tidak terpenuhi:

Suatu kesulitan akan timbul bilamana seseorang berpaling dari teori-teori egoistik ke altruistik, atau bahkan kepada semua sistem-sistem etika yang melihat kebaikan tertinggi pada kebaikan yang umum. Realisasi-diri jelaslah tidak mampu diidentifikasikan dengan kebaikan tertinggi oleh orang altruist, yang bagi mereka tingkah laku itu baik sepanjang tingkah laku itu membantu realisasi diri-diri yang lain daripada diri yang dimilikinya sendiri. Jika altruisme gagal untuk mencatat unsur etik yang terlibat dalam kebudayaan personal, maka teori-teori egoistik yang murni, yang menganggap realisasi-diri saja sebagai yang lengkap dari cita etika itu, gagal untuk mencatat diri sosial pada manusia, dan tentang tempat yang pengabdian pada kesejahteraan umum menduduki dalam suatu uraian yang lengkap dan memadai dari kehidupan moral.. Bukan realisasi dari diri (self) yang merupakan aturan tingkah laku yang esensial, tetapi penggunaan self itu dan seluruh kekuatannya dan bakatnya untuk pemajuan kesejahteraan umum, yang didalamnya juga termasuk kesejahteraan individual.[56]

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa realisasi diri bisa dalam bentuk hedonisme, rasionalisme, eudaemonisme. Realisasi diri bisa juga diartikan pengembangan diri seseorang menuju kesempurnaannya sehingga berbeda pada waktu dia masih dalam fase anak atau berbeda dengan orang-orang terbelakang yang tidak mungkin bisa mengembangkan dirinya. Dalam hal ini yang dimaksudkan oleh penulis dengan realisasi diri ialah dengan mengikuti etika realisasi diri dari Aristoteles dilengkapi dengan pendapat para tokoh etika Realisasi diri seperti Bradley dan T. H. Green dan para penulis etika realisasi diri lainnya.

Selain itu menurut mereka yang menganut paham altruisme dan sistem-sistem yang menekankan diri sosial (social self) realisasi diri bersifat egoistik karena mengabaikan aspek sosial dalam paham etikanya. Sebenarnya tuduhan ini tidak dapat diterima karena etika realisasi diri itu bukan hanya memperhatikan aspek individu dalam diri seseorang tetapi juga aspek sosialnya. Realisasi diri dinilai baik bilamana dia berperan maksimum di masyarakat dan berpartisipasi penuh dalam mencapai tujuan sosial yang sudah disetujui bersama.

B. Manusia Menurut Etika Realisasi Diri

Realisasi diri memandang manusia normal sebagai makhluk yang mempunyai instink bawaan, makhluk yang sadar diri, dan makhluk spiritual. Dengan instink bawaan ini manusia tidak berbeda dengan hewan, namun karena dia makhluk yang sadar diri dan makhluk spiritual maka instinknya dapat dikendalikan. Adanya kesadaran menjadikannya berbeda dengan hewan. Kesadaran akan diri ini timbul pada umur sekitar tiga atau empat tahun. Sedangkan manusia makhluk spiritual maksudnya manusia mempunyai kemampuan intelektual, kemampuan rekayasa, dan kemampuan merasakan keindahan.

1. Manusia sebagai makhluk alami dengan instink bawaan

Manusai pada dasarnya adalah makhluk alam, anggota dari species binatang tertinggi. Dia adalah hasil dari evolusi natural yang sama yang telah menghasilkan bentuk hidup yang lain, dan karena itu dihubungkan dengan keturunannya. Geneologisnya bisa ditelusuri ke belakang melalui pergantian species sampai kepada yang paling awal dan paling sederhana dari bentuk kehidupan. Sebagai hasil dari ini, asal usul alaminya dan perkembangannya, manusia memiliki kualitas tertentu yang diperhitungkan sebagai fundamental bagi karakternya. Sangat penting bagi pengaruhnya terhadap tingkah laku adalah instink yang setiap manusia memilikinya. Instink merupakan bagian dari warisan alami manusia, dan karena itu sama-sama punya seperti pada binatang yang lebih rendah tingkatannya. Mereka merupakan modifikasi dari sistem syaraf yang asalnya berkembang pada nenek moyang binatang melalui seleksi alam karena memberikan keuntungan dalam perjuangan untuk eksistensinya. Dengan melihat pada asal usul seperti ini instink itu telah ditransmisikan melalui warisan fisik dan menjadi bagian yang permanen dari struktur fisik manusia.

Dengan demikian yang pertama dari karakteristik dasar bagi manusia adalah memiliki instink. Instink ini memiliki arti penting bagi tingkah laku manusia, karena mereka menyebabkan dia pertama kali bereaksi dengan tidak sengaja kepada jenis objek tertentu. Adalah sulit kalau bukan tidak mungkin, untuk menghitung dan mengklasifikasi aneka ragam instink manusia. Untuk tujuan dari pembahasan sekarang ini, reaksi-reaksi instinktif manusia bisa dibagi ke dalam tiga kelas. Yang pertama adalah instink pemeliharaan diri (self-preservation), sehingga manusia berusaha mencari kesehatan dan kesenangan dirinya, dan juga menghindari keadaan yang merugikan dan rasa sakit. Yang kedua, adalah instink makan, minum, tempat tinggal, dan perolehan. Yang ketiga adalah instink sosial, diantaranya instink sex dan parenthood, bicara dan simpati, serta marah. Bisa ditambah lagi dengan instink meniru, ingin tahu, dan keindahan. Melalui aneka ragam instink alami ini, manusia dapat berhubungan dengan objek dunia materi dan manusia lainnya sebagai individu yang alami.[57]

2. Manusia sebagai makhluk yang sadar akan dirinya

Manusia lebih dari individu yang alami, dia adalah suatu diri yang sadar. Sebagai suatu self, atau pribadi, dia bukanlah sesuatu yang material yang dibatasi untuk memisahkannya dari barang lainnya di ruangan ini, dia adalah wujud spiritual juga. Kedirian atau pribadi manusia menempati dalam kesatuan sadar dari pengalamannya. Dia sadar akan identitas tertentu yang berlangsung melalui kumpulan pengalaman masa lalunya dan terus ke masa depannya. Kesadaran manusia akan kesatuan dari pengalamannya dan kediriannya,, tergantung pada kemampuannya untuk merajut bersama fakta-fakta dari pengalamannya ke dalam suatu sistem yang berhubungan. Dia melakukan lebih asosiasi pengalaman dalam susunan peristiwanya; untuk ini binatang tidak mempunyai kedirian atau personalitinya. Dia mampu membangun hubungan permanen di antara objek-objek yang disadarinya. Dalam menemukan sarana yang harus digunakan untuk mencapai tujuan keinginan, individu dibuat sadar tentang hubungannya di antara objek-objek yang sifatnya permanen dan semestinya. Pada umur ketiga atau keempat dari manusia pertumbuhan self mulai dan terus berlangsung pada masa anak-anak. Tetapi kesadaran diri penuh baru muncul di waktu kekuatan berpikir dan imajinasinya mampu untuk berhubungan dengan pengalamannya dalam jumlahnya yang besar dan hubungan yang lebih komprehensif. Imitasi dan bahasa juga faktor penting dalam perkembangan diri.[58]

3. Kemampuan spiritualnya.

Sebagai suatu diri yang sadar, manusia memiliki kemampuan spiritual tertentu. Kalau instink alaminya membantu untuk mempertahankan dan memperkuat eksistensi fisiknya, maka kemampuan spiritualnya dapat mempertahankan dan memperkaya kesadaran pribadinya. Kemampuan spiritual pada manusia ini yang pertama adalah kemampuan intelektual, yaitu berupa kekuatan berpikir dan kemampuan untuk memperoleh pengetahuan; yang kedua, kemampuan teknikal, yaitu kemampuan untuk merencanakan, mengkonstruk, dan menemukan; yang ketiga kemampuan estetik, yaitu kemampuan untuk melihat dan menikmati keindahan.[59]

Dengan demikian aktivitas intelektual, teknikal, dan estetik menyumbang bagi kepuasan kemauan dalam kerjanya mengorganisir dan memperkaya kehidupan pribadi.

C. Hidup yang Baik Menurut Etika Realisasi Diri (The Life of Excellence)

Dalam The Ethics of Self-Realization, dikemukakan bahwa teori realisasi diri adalah suatu teori yang berpendapat bahwa hidup yang baik itu adalah hidup yang didasarkan pada aktualisasi potensi manusia yang dalam psikologi disebut dengan pengembangan diri.[60] Seseorang harus mengaktualkan potensi-potensi dirinya dan berusaha mencapai atau menuju kehidupan yang baik dengan mengaktualkan potensi manusia secara maksimal.

Ideal dari realisasi diri adalah sistem pengisian yang harmonis, koheren, dan maksimal serta tergantung pada kepribadian dan kemampuan seseorang. Dua persyaratan yang harus dipenuhi dalam hal ini ialah kegiatan-kegiatan tersebut konsisten dengan masyarakat dan juga tidak merugikan pribadi. Ringkasnya, aktualisasi diri adalah suatu proses menemukan kebutuhan dan tujuan akhir, baik yang sifatnya pribadi atau sosial, dan mendapatkan cara-cara yang kreatif dan menyenangkan untuk memenuhi tujuan-tujuan akhir ini. Demikianlah cara seorang individu mencapai kebermaknaan dirinya.[61] T. H. Green mengemukakan manusia adalah makhluk sosial, dan memiliki kepentingan kepada orang lain. Karena itu kepuasan dirinya yang lengkap memberikan arti kepuasan dorongan sosial dan dorongan lainnya. Yaitu, kebaikannya yang sebenarnya termasuk baik bagi orang lain. [62]

Seorang tokoh etika realisasi diri, F. H. Bradley (1846-1924 M), dalam bukunya yang berjudul Ethical Studies, mengemukakan bahwa tujuan akhir itu adalah realisasi diri.[63]. Moralitas memberikan pengertian tindakan dan tindakan memberikan pengertian realisasi diri. Diri yang akan direalisasikan tersebut adalah diri secara keseluruhan bukan kumpulan dari daya. Diri keseluruhan merupakan objek yang dituju, dan ini adalah apa yang dimaksudkan dengan realisasi diri.[64] Yang dituju dalam etika ini adalah self, self secara keseluruhan, dengan kata lain self sebagai suatu keseluruhan yang berisi keinginan-keinginan.[65]

Realisasi diri bukan berarti merealisasikan diri pada suatu yang terbatas tetapi juga kepada suatu keseluruhan yang tak terbatas. Dikemukakannya bahwa realisasi diri itu pengertiannya lebih dari diri sebagai suatu keseluruhan. Wujud kita bukan merupakan satu kesatuan tak terpisahkan, juga bukan suatu yang terpisah tetapi merupakan suatu identitas sempurna dari keduanya, keseluruhan yang terbatas dan yang tidak terbatas.[66] Yang dinamakannya dengan istilah finite atau yang terbatas itu adalah bila wujud seluruhnya berada dalam dirinya sendiri dan dia dibatasi oleh faktor luar.[67] Sedangkan yang dimaksudkannya dengan infinite adalah kesatuan antara yang terbatas dengan yang tidak terbatas. Realisasi diri yang sempurna adalah merealisasikan diri sebagai suatu keseluruhan yang tak terbatas, maksudnya merealisasikan diri sebagai anggota yang sadar diri terhadap suatu keseluruhan yang tak terbatas dengan cara merealisasikan keseluruhan itu ke dalam diri sendiri. Bilamana keseluruhan itu benar-benar tidak terbatas dan bilamana keinginan pribadi secara keseluruhan dijadikan satu dengan yang tidak terbatas tadi maka berarti telah tercapailah suatu kesatuan yang homogen dan terspesifikasi dan berarti telah sampai kepada realisasi diri yang sempurna.[68]

F. H. Bradley mengemukakan bahwa yang baik bagi seseorang tidak dapat disamakan dengan perasaan terealisasi, atau perasaan apa pun juga. Karena itu, dia menolak hedonisme dan utilitarianisme sebagai hanya satu aspek saja. Bradley sependapat dengan Georg Friedrich Wilhelm Hegel (1770-1831 M) yang menyatakan bahwa tujuan moralitas adalah realisasi dari suatu kehendak baik. Namun Bradley mengemukakan perlunya dijelaskan isi dari kehendak baik yang direalisasikan itu. Menurut dia yang dimaksudkan dengan kehendak baik (good will) itu adalah kehendak universal (universal will), yaitu kehendak dari suatu organisme sosial. Tugas seorang menjadi terspesifikasikan dengan keanggotaannya dalam organisme sosial. Agar menjadi orang yang bermoral, saya harus menghendaki kedudukan saya dan tugas-tugasnya ('to be moral, I must will my station and its duties.')[69]

Bagi Hegel dan Bradley kehendak universal itu merupakan suatu diri individual 'yang sebenarnya' (individual's 'true' self). Individu yang terpisah dari hubungan sosial, keanggotaannya dalam suatu organisme sosial hanyalah suatu abstraksi. Individu ada karena komunitas dan berdasarkan atas komunitas. Karena itu untuk menyamakan (identify) kehendak seseorang dengan kehendak universal sama dengan usaha merealisasikan diri dengan cara yang sebenarnya. Kehendak universal itu maksudnya kehendak masyarakat, sedangkan yang dimaksudkan dengan masyarakat ini lebih banyak ditujukan Bradley kepada negara. Merealisasikan diri secara moral sama dengan bertindak sesuai dengan moralitas sosial. Yang dimaksud moralitas sosial adalah moralitas yang telah siap seperti yang ada dalam hukum, institusi, opini-opini moral, dan perasaan. Tugas seseorang dispesifikasikan oleh tempatnya bekerja dan fungsinya dalam organisme sosial itu.[70]

Selain tugas merealisasikan moralitas sosial, Bradley juga mengemukakan tugas merealisasikan diri yang ideal. Menurut dia, hukum moral selalu menghendaki agar seseorang selalu mengidentifikasikan dirinya kepada kebaikan yang ideal dan kehendak universal. Hal ini tidak akan tercapai selama individu itu tidak dapat mengatasi diri (self) yang lebih rendah. Untuk itu moralitas selalu dalam proses yang tanpa akhir dalam usahanya mencapai kesempurnaan dan usahanya untuk mengatasi (transcend) dirinya sendiri, mengatasi realitasnya yang ada. Karena hukum moral menuntut pencapaian suatu yang ideal yang tidak dapat dicapai selama ada diri yang buruk yang harus diatasi, maka hal ini hanya akan tercapai pada lingkungan yang supra-etik. Dan bidang ini adalah bidang agama. Moral ideal tidak dapat direalisasikan di dunia obyektif ini, tetapi dia dapat direalisasikan untuk kesadaran beragama seseorang. Dalam bidang agama manusia memenuhi tuntutan moralitas yang harus dia realisasikan sendiri sebagai 'suatu keseluruhan yang tak terbatas' (an infinite whole). Tuntutan ini tidak dapat dipenuhi pada tingkatan etika, melalui keanggotaan dalam masyarakat.[71]

Bradley menyatakan ada perbedaan antara moralitas dan realisasi diri. Dalam beberapa hal keduanya memang terdapat perbedaan dilihat dari pandangan umum tentang masalah ini. Setiap orang setuju bahwa suatu ilmu adalah merupakan hasil realisasi diri dari seseorang tetapi orang tidak setuju dengan melihat hasil karyanya itu dia juga dianggap bermoral. Orang yang menghasilkan sesuatu yang baik belum tentu dia adalah orang baik.[72] Namun adalah kewajiban moral untuk merealisasikan self yang terbaik, yang merupakan suatu diri yang ideal. Dengan demikian moralitas itu berdampingan dengan realisasi diri dalam pengertian berusaha merealisasikan diri yang ideal.

Bradley mengemukakan bahwa self yang baik itu adalah self yang merealisasikan (1) suatu ideal sosial, (2) ideal non sosial, atau dengan kata lain, apa yang dituju adalah merealisasikan pada saya (1) ideal yang direalisasikan di masyarakat, tentang posisi saya dan tugas-tugasnya, atau (2) ideal yang belum terealisasi secara penuh, dan ini adalah (a) penyempurnaan diri sosial dan (b) diri non-sosial. Atau juga bisa dibagi ke dalam (1) tugas-tugas kepada seseorang yang tidak dianggap sebagai tugas sosial, tugas-tugas kepada seseorang yang dianggap (a) tugas-tugas karena posisi saya di situ, (b) tugas-tugas di luar posisi saya.[73]

Moralitas akhirnya tercapai dengan realisasi diri yang sebenarnya. Akan tetapi diri yang sebenarnya itu adalah 'tidak terbatas' (infinite). Ini berarti juga bahwa moralitas itu menuntut realisasi diri sebagai suatu anggota dari suatu keseluruhan yang tak terbatas. Hal ini tidak dapat dipenuhi pada tingkatan etika tentang 'kedudukan saya dan tugas-tugasnya' (my station and its duties), tapi bisa dipenuhi hanya melalui transformasi diri ke dalam yang Absolut.[74]

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa hidup yang baik menurut etika realisasi diri adalah apabila terpenuhinya realisasi diri individual, realisasi diri sosial dan realisasi diri ideal. Realisasi diri individual maksudnya seseorang harus berusaha mengaktualkan potensi dirinya sesuai dengan kecendrungannya. Realisasi diri sosial adalah dengan cara partisipasi yang tinggi di bidang sosial sesuai dengan kecakapannya untuk mencapai tujuan sosial yang digariskan bersama, Realisasi ideal maksudnya adalah realisasi diri keagamaan. Kelemahan dari cara realisasi seperti ini adalah memisahkan realisasi diri individu dan sosial dengan realisasi agama sehingga aktivitas yang dilakukan seseorang untuk mengisi dirinya dan aktivitas sosialnya terlepas dari ruh agama.

D. Jalan yang Ditempuh Menuju Realisasi Diri

Realisasi diri harus melibatkan integrasi semua dorongan pada diri individu dan juga suatu penyesuaian diri untuk kepentingan bersama di masyarakat. Yang sangat banyak pengaruhnya terhadap tingkah laku adalah instink dimana semua orang memilikinya. Instink ini adalah bagian dari warisan alami manusia, dan yang juga dimiliki oleh binatang. Reaksi manusia yang bersifat instink dapat dibagi kepada tiga macam, yaitu reaksi manusia untuk pemeliharaan diri, yang menjadikan manusia berusaha untuk menjaga kesehatan dan kesenangan dan berarti juga menghindari keadaan yang merugikan dan menyakitkan. Yang kedua instink sosial, diantaranya adalah instink yang berhubungan dengan seks dan keluarga, tentang kemampuan bicara dan rasa simpati, disamping itu terdapat juga instink meniru, rasa ingin tahu, dan keindahan.

Sebagai suatu makhluk yang sadar akan dirinya manusia memiliki kemampuan spiritual tertentu yang menjadi ciri kemampuan kedua dari manusia. Kalau instink alami berguna untuk mempertahankan dan memperkuat eksistensi fisik, maka kemampuan spiritual mempertahankan dan memperkaya kesadaran pribadinya. Kemampuan spiritual pada manusia adalah pertama kemampuan intelektual, seperti kekuatan berpikir dan kemampuan untuk memperoleh pengetahuan dan kedua kemampuan teknik, kemampuan untuk menyusun, mengkonstruk, menemukan sesuatu sedangkan kemampuan ketiga adalah kemampuan yang bersifat estetik, mampu mempersepsikan dan menyenangi apa yang indah. Pengaruh dari ketiga kemampuan ini dalam diri manusia adalah untuk memperluas dan memperkaya kesatuan dari diri itu sendiri.

Dengan demikian realisasi diri yang sempurna dan baik, yaitu organisasi yang lengkap dari tingkah laku, memerlukan realisasi dari:

(1) Diri individual (individual self). Melalui penyesuaian aktivitas pada seseorang maka semua dijadikan sarana untuk meningkatkan kemampuan individu.

(2) Diri sosial (sosial self). Melalui penyesuaian kepentingan individu kepada kepentingan orang lain sehingga aktivitasnya dibuat sarana untuk mendapatkan kesejahteraan sosial.

(3) Diri universal (Universal self). Melalui penyesuaian kesejahteraan kepada Tujuan Universal (Universal purpose).

Untuk mencapai yang baik atau realisasi diri yang sempurna maka seseorang haruslah berusaha menanamkan pada dirinya keutamaan yang berupa keutamaan individu, keutamaan sosial, dan keutamaan keagamaan. Terdapat sepuluh kebajikan yang merupakan langkah atau tingkatan yang mesti dijalankan pada realisasi diri yaitu

1. Keutamaan Individual

a. Temperance (kesederhanaan). Kebiasaan untuk mengendalikan dorongan dan keinginan untuk kepentingan kesejahteraan individu.

b. Prudence (hati-hati) kebiasaan memajukan kesenangan individu dan keamanan melalui subordinasi dorongan dan keinginan

c. Courage (keberanian). Kebiasaan mengorbankan keselamatan dan kesenangan individu untuk pencapaian kebaikan yang lebih luas dan komprehensif.

d. Idealism (Bijaksana, Efisien, Kehalusan bahasa) Kebiasaan melatih kemampuan spiritual yang lebih tinggi dari individu dengan mengorbankan kesenangan material.

2. Keutamaan Sosial

e. Kindness (keramahan). Kebiasaan untuk menyerahkan/mengorbankan kepentingan individu bilamana ini diketahui berkonflik dengan kepentingan lainnya.

f. Persahabatan. Kebiasaan untuk meningkatkan kesejahteraan orang lain dengan tidak mempertimbangkan kepentingannya sendiri.

g. Justice (keadilan). Kebiasaan mengsubordinasikan kepentingan individual, apakah tentang diri atau tentang lainnya, demi kepentingan kebaikan kemanusiaan.

h. Benevolence (perbuatan baik). Kebiasaan meningkatkan kesejahteraan semua pertemanan, apakah di masyarakat, bangsa, atau dunia, dengan cara usaha dan inisiatif individual.

3. Keagamaan

i. Reverence (kehormatan). Menomorduakan kepentingan manusia untuk tujuan kepada Universal Intelligence.

j. Piety (kesalehan). Pengadopsian oleh manusia tentang Universal Purpose sebagai kebaikan dirinya.[75]

Sepuluh kebajikan tersebut berupa empat kebajikan termasuk dalam keutamaan individual, empat kebajikan pada keutamaan sosial, dan dua kebajikan pada keutamaan keagamaan. Secara agak rinci uraian sepuluh kebajikan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Keutamaan Individual

Secara individual umat manusia telah mewarisi dalam dirinya dorongan-dorongan dan instink bawaan, seperti rasa lapar, seks, rasa simpati dan marah. Instink ini telah dikembangkan pada organisme sebagai sarana untuk penyesuaian diri pada lingkungan. Ini membuat makhluk hidup dapat mengambil manfaat dari sumber daya alam dan untuk melestarikan eksistensinya dan mempertahankan kekuatannya.

Syarat pertama dari semua perkembangan moral adalah bahwa objek dari instink dan dorongan-dorongan ini akan menjadi tujuan dari keinginan sadar. Bahwa diri (self) akan mampu berkeinginan yang baik merupakan prasyarat dari realisasi yang dimilikinya. Kemauan pertama-tama mengejawantah pada dirinya sendiri sebagai suatu agen yang mengorganisir dalam mengontrol tindakan yang dilakukan melalui keinginan yang cerdas. Dengan cara demikian kemauan (volition) memulai proses yang membawa diri bertumbuh menyesuaikannya dengan dunia luar. Dengan kemampuan untuk berbuat dalam memenuhi keinginannya itu akhirnya timbul untuk pertama kali organisasi kehidupan yang memungkinkan untuk ekspresi diri dan perkembangan diri.

Karena hal itu merupakan pendahuluan yang mesti bagi semua perkembangan pribadi, sebagai syarat utama bagi realisasi diri bagi semua orang, maka kemampuan kemauan untuk mencapai obyek keinginan secara berhasil menuntut pengakuan untuk terus dilatih. Sesungguhnya latihan kemampuan yang fundamental dari kemauan ini begitu pentingnya sehingga tanpa itu individu tidak dapat dianggap sebagai agen moral sama sekali. Sebagai langkah pertama ke depan, realisasi diri mensyaratkan kepada semua orang penyesuaian dorongan-dorongan alamiah dan keinginan karena hal itu akan menjadikannya sebagai sarana untuk melestarikan diri dan mendapatkan kenyamanan individu.[76]

Kesederhanaan (temperance) merupakan salah satu kebajikan individu. Kesederhanaan ini maksudnya adalak keinginan yang tidak ekstrim, kehidupan yang terukur, dan juga tidak menghindar dari kesenangan. Dalam pengertian realisasi diri berarti agar semua dorongan yang ada itu bisa dijadikan untuk meningkatkan kesejahteraan individu. Hidup yang tidak berlebih-lebihan ini dapat diterapkan pada kegiatan-kegiatan seperti hiburan, bicara, pengeluaran, serta pada makan dan minum. Aristoteles membatasi penerapan kesederhanaan ini pada nafsu binatang seperti makan, minum, dan seks. Untuk mengatasi diri agar tidak berlebih-lebihan perlu adanya control diri (self-control) dari individu tersebut.[77]

Bijaksana (prudence) merupakan keutamaan berikutnya bagi individu. Pembatasan keinginan yang diberikan kepada aneka ragam keinginan dalam melatih kesederhanaan bukanlah tujuan yang sebenarnya. Ia hanya merupakan sarana untuk kepuasan maksimum dari semua keinginan yang sifatnya alami bagi diri manusia. Tingkat kepuasan yang diizinkan untuk suatu keinginan tergantung pada kebutuhan yang diperlukan. Tetapi di antara keinginan tersebut terdapat satu keinginan yang pokok yaitu keinginan untuk hidup aman dan nyaman yang ada hubungannya dengan pelestarian diri dan merupakan salah satu motif orang untuk bertindak. Bijaksana atau hati-hati dalam perbuatan merupakan aspek positif dari kesederhanaan dan dilaksanakan melalui pencarian dan pencapaian tujuan umum yang diakui sebagai tujuan.

Tujuan yang ingin dicapai pertama adalah mempertahankan dan meningkatkan sedapat mungkin akan kesehatan. Kesejahteraan seseorang sebagai makhluk alami fondasinya adalah pada kesehatan fisik. Untuk menjaga kesehatan perlu tersedianya makanan dan minuman dalam takaran tertentu, pakaian yang pantas untuk menjaga tubuh dari dingin, angin, sengatan panas matahari, hujan dan salju. Selain itu dibutuhkan juga tempat tinggal yang baik untuk mencegah terkena hujan dan salju serta panas yang menyengat. Kebersihan juga termasuk bagian penting dari kesehatan yang baik termasuk sanitasi dan sampah. Setelah itu perlu latihan olah raga dan hiburan.

Selain kesehatan, adanya hak milik (property), merupakan obyek kedua yang dijadikan tujuan individu. Adanya kepemilkan ini dimaksudkan untuk menjaga eksistensinya dan mengamankan kesejahteraannya. Ini juga menjadi motif seseorang untuk berbuat. Kepemilikan lainnya yang termasuk di sini adalah kepemilikan akan tabungan atau benda yang bisa dinilai sebagai tabungan. Ini dimaksudkan agar dia tidak menjadi beban orang lain pada masa tua atau diwaktu menderita sakit. Kepemilikan alat atau instrument yang dibutuhkan untuk menopang hidup, yang bersifat fisik atau pun mental, bukan hanya yang bersifat mekanis tetapi juga yang berupa buku, instrument music dan lainnya. Selain itu adanya kelebihan dalam kepemilikan yang bisa digunakan dalam keadaan darurat. Karena itu perlu ada kepemilikan yang mudah ditukarkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehingga dalam hal darurat dia akan mudah mendapatkan jalan keluarnya.

Punya nama baik (reputasi) di masyarakat tempatnya berada merupakan salah satu tujuan yang akan dicapai. Kerja sama di masyarakat, pembagian kerja yang sesuai di bidang industru, pertukaran produk, dan juga di bidang seni dan sains yang pada dasarnya adalah saling percaya, membawa kepada nama baik seseorang.

Obyek dari tiga tujuan tersebut yaitu kesehatan, kesejahteraan, dan ketenaran atau nama baik sering disebut dengan tiga hal yang alami dalam kehidupan manusia. Dengan terpenuhinya ketiga hal tersebut maka diharapkan individu bisa merasa aman, patuh hokum dan aturan yang sangat diperlukan untuk kesejahteraan masyarakat.[78]

Keberanian (courage) merupakan keutamaan lain setelah kebijaksanaan atau kehati-hatian dalam berbuat. Keberanian di sini maksudnya adalah kemauan mengorbankan keselamatan dan kiesenangan individu dengan maksud untuk mencapai kebaikan yang luas dan komprehensif. Di antara keutamaan-keutamaan yang ada, keberanian merupakan yang pertama mendapatkan pengakuan dan dikagumi dalam sejarah manusia.

Keberanian fisik adalah kesiapan diri untuk mendapat resiko sakit atau kematian demi untuk kepentingan yang lebih tinggi. Pada masyarakat primitif dapat dilihat bahwa mereka berani berkorban demi menjaga masyarakatnya dari serangan musuh. Selain itu keberanian moral juga sangat dihargai. Banyak yang menderita karena dia berani mengatakan yang sebenarnya dan jujur. Berpegang teguh pada pendirian dan prinsip hidup walaupun berbeda dengan orang banyak merupakan suatu keberanian moral.[79]

Idealisme adalah suatu keutamaan tertinggi dari kehidupan individu. Idealism menandai titik puncak dalam perkembangan individu manusia sebagai suatu pribadi yang sadar diri. Di sini kemampuan berpikir, bertindak, dan perasaan yang bersifat spiritual dijunjung tinggi. Obyek ideal ini yaitu kebenaran, kekuasaan dan keindahan saling berhubungan satu sama lain sehingga membentuk ksuatu kesatuan yang menggambakan kebaikan individu secara keseluruhan. Realisasi diri obyek-obyek ideal ini dengan mengorbankan kenyamanan material dan kesejahteraan merupakan keutamaan idealisme.

Keutamaan idealism mengambil dua bentuk, yaitu tergabungnya perkembangan yang serasi dari kemampuan berpikir, bertindak, dan rasa dengan konsekuensi realisasi dari tiga ideal yang cocok menghasilkan kepada individu tiga kualitas: kebijaksanaan, efisiensi dan kemurnian yang dalam kesatuannya menimbulkan kemampuan intelektuan, teknikal, atau keindahan, akhirnya menghasilkan prestasi pada bidang kebenaran, kekuasaan, atau keindahan.

Manifestasi idealism dalam bidang budaya merupakan hasil dari kerja pikiran, tindakan, atau perasaan, sehingga menimbulkan hasil intelek, teknik, dan keindahan. Intelek menuju kepada kebenaran, teknik kepada efisiensi kerja dan perasaan adalah respon dari diri sebagai subyek terhadap kondisi obyektif yang mempengaruhi eksistensi dan perkembagannya.

Manifestasi idealism dalam prestasi adalah berupa usaha yang berhasil dalam mencapai tujuan sesuai dengan bakat seseorang. Manusia itu ada yang segi inteleknya lebih dominan sehingga menimbulkan pemikir ulung, ada juga aspek perasaannya yang dominan sehingga melahirkan manusia yang mementingkan keindahan dan seni seperti penyair, musisi, dan pelukis. Namun ada juga manusia praktis yang trampil di bidang teknik dengan macam-macamnya yang begitu luas untuk disebutkan satu persatu.[80]

2. Keutamaan sosial

Selain penyesuaian instink pada individu, organisasi diri juga melibatkan penyesuaian individu itu sendiri kepada yang lainnya di dalam masyarakat yang dinamakan penyesuaian social. Penyesuaian social ini tidak perlu menunggu sampai organisasi individu itu lengkap. Kedua penyesuaian ini berproses terus secara serempak dan terkait erat satu sama lain. Penyesuaian social tujuannya adalah tntegrasi semua kepentingan individu ke dalam suatu kebaikan kemanusiaan. Individu menyesuaikan kepentingan yagdimilikinya kepada kepentingan individu lainnya sampai kepada hubungan pribadi yang baik. Yang demikian itu menimbulkan keutamaan dalam bentuk kebaikan (kindness) yang merupakan keutamaan social.[81]

Kebaikan hati (kindness) adalah suatu keinginan individu untuk merasakan ketidaknyamanan pribadi dalam memasuki kehidu[an social. Kebaikan hati seringkali lebih dari hanya sekedar merasakan ketidaknyamanan sementara, yang mengganggu realisasi dari tujuan hidup. Dalam membantu tetangga atau orang yang miskin kadang-kadang memerlukan pengorbanan waktu, uang atau pikiran. Kebaikan hati bisa melibatkan pengorbanan yang lebih besar karena melalaikan perkembangan pribadi dan kemampuan pikirannya yang lebih tinggi. Di sini kebaikan hati itu menjadi murni pengorbanan diri.

Persahabatan (friendship) merupakan cara untuk meningkatkan kesejahteraan orang lain tanpa mementingkan diri sendiri. Persahabatan adalah aspek positif dari kebaikan hati (kindness) dan merupakan salah satu faktor penting dalam perkembangan moral dan memainkan peranan yang penting dalam proses realisasi diri. Realisasi diri menghendaki integrasi minat pribadi ke dalam suatu kebaikan pribadi yang lebih luas dimana semua individu sebagai makhluk rasional sama-sama berada di dalamnya.[82]

Keadilan (justice) melatih kebiasaan menomorduakan minat indivixu untuk kebaikan kemanusiaa. Realisasi diri yang lengkap tercapai dalam di bawah kondisi tertentu yang antaranya dengan menjaga kesehatan tubuh dan mental; adanya kepemilikan; pendidikan kemampuan yang lebih tinggi dari intelek, teknik dan estetika; membuna hubungan keluarga dan persahabatan; menjaga posisi dan kedudukan tertentu di masyarakat. Hal ini karena setiap orang punya hak untuk memiliki dan menjaga organisme tubuhnya, kepemilikan akan tempat tinggal, pendidikan, pemeliharaan keluarga dan kasih saying, kewarganegaraan dan kedudukan pada tingkat yang perlu bagi realisasi dirinya.[83]

Perbuatan baik (benevolence) merupakan pekerjaan yang diarahkan kepada individu melalui praktek keadilan dengan maksud berkembangnya kepribadian manusia itu sendiri. Karena itu perbuatan baik adalah keadilan dengan penekanan terletak pada sesuatu yang positif dan ke arah itu keutamaan ditujukan. Perbuatan baik yang ditujukan kepada individu adalah pelayanan kemanusiaan, tanpa memandang kepada batas umur, seks, ras, dan nasionalitas, serta tanpa memandang waktu dan tempat.[84]

3. Keutamaan Agama

Sifat ketiga yang menjadi cirri dari kehidupan manusia yang menambah aspek lain bagi proses realisasi diri adalah pennngalaman manusia tentang realitas universal. Ini adalah penyesuaian ketiga, penyesuaian manusia kepada alam semesta, integrasi realitas universal ke dalam kehidupan dengan kesadaran keagamaan seseorang.

Jika agama dianggap sebagai langkah terakhir dalam realisasi diri, maka perlu dilihat hubungannya dengan penyesuaian sebelumnya, yaitu penyesuaian diri individu dan penyesuaian diri sosial. Penyesuaian agama merupakan basis dari dua keutamaan yang tempat dan kepentingannya dalam kehidupan moral diakui secara umum. Untuk penyesuaian ini menghendaki subordinasi semua kepentingan manusia untuk tujuan penghormatan. Penghormatan untuk Tuhan merupakan suatu ekspressi kehormatan yang ditujukan kepada Ideal Moral itu sendiri. Selain organisasi diri menghendaki bahwa manusia menggunakan kemampuannya dalam merealisasikan perintah dan larangan Tuhan, dan berarti melaksanakan hidup yang sesuai dengan ajaran agama. [85]

Majid Fakhry mengemukakan bahwa al-Ghazali telah mengembangkan teori etika yang di dalamnya terdapat pengaruh Plato. Teori etika tersebut terdapat dalam kitabnya Mizān al-‘Amal dan Ihyā ‘Ulūm ad-Dīn. Dalam teorinya empat kebajikan utama sesuai dengan yang dikemukakan oleh Plato. Etika al-Ghazali merupakan gabungan antara ide agama dan ide filsafat. Kebahagiaan menurut al-Ghazali ada dua macam, yaitu kebahagiaan duniawi dan kebahagiaan akhirat. Kebahagiaan akhirat yang merupakan tujuan akhir tidak akan tercapai selama tidak berbuat baik di dunia. Ini termasuk empat kebajikan utama, kebajikan jasmaniah seperti kesehatan dan kekuatan, sedangkan kebajikan luar seperti kekayaan, dan posisi sosial. Untuk kebajikan ketuhanan terdapat dalam al-Qur’an dan hadits.

Jalan menuju kesempurnaan moral dan spiritual digambarkan sebagai jalan mencari Tuhan. Para pencari ini harus dengan dua keadaan: perbuatan mereka harus mengikuti apa yang terdapat dalam syariat agama, dan mereka harus yakin bahwa Tuhan selalu hadir di hati mereka. Dengan kehadiran ini maksud al-Ghazali adalah perasaan berdosa, kekaguman dan penyerahan diri akan lahir karena kesadaran pencari itu akan keindahan dan keagungan Tuhan.[86] Tentang etika tasawuf ini, khususnya tasawuf al-Ghazali, akan dibahas secara panjang lebar pada bab berikutnya.



[52] Cyrenaics adalah suatu aliran filsafat Yunani yang didirikan oleh Aristippus dari Cyrene. Ajaran dari aliran ini dikenal dengan filsafat hedonisme. Lih. Dagobart D. Runes (Ed). Dictionary of Philosophy (Totowa, New Jersey: Littlefield, Adams &cCo., 1976), hlm. 72.

[53] W. Poespoprodjo, Filsafat Moral (Bandung: Remaja Karya, 1988), hlm. 242

[54] Poedjawijatna, Etika (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), hlm. 44-45.

[55] H. Muh. Said, Etik Masyarakat Indonesia (Jakarta: Pradnya Paramita, 1980), hlm. 85.

[56] James Hastings, (ed)., Encyclopedia of Religion and Ethics, Vol. XI, (New York: Charles Scribner's Sons, tt.), p. 364-365.

[57] Henry W. Wright, Self Realization An Outline of Ethics, (New York: Henry Holt and Company, 1913), hlm. 174.

[58] Ibid., hlm. 176.

[59] Ibid., hlm. 177.

[60] The theory of self-realization is that a life of excellence is based on the actualization of human potentialities. In psychology, this is called "self-development."

[61] The Ethics of Self Realization, dikutip pada tanggal 16 Juli 2006.

[62] George Stuart Fullerton, A Handbook of Ethical Theory, (EBook #6463, Project Gutenberg, 2004), hlm. 148.

[63] Bradley, F.H., Ethical Studies (London: Oxford University Press, 1952), hlm. 65.

[64] Ibid. hlm. 66.

[65] Ibid., hlm. 71.

[66] Ibid., hlm. 74.

[67] Ibid., hlm. 75.

[68] Ibid., hlm. 80.

[69] Ibid., hlm. 192.

[70] Ibid., hlm. 193.

[71] Ibid., hlm. 194-5.

[72] Ibid., hlm. 214.

[73] Ibid., hlm. 219

[74] Ibid., hlm. 195.

[75] Henry W. Wright, Self Realization An Outline of Ethics, (New York: Henry Holt and Company, 1913), hlm. 317.

[76] Ibid., hlm. 322.

[77] Ibid., hlm. 323-331.

[78] Ibid., hlm. 332-341.

[79] Ibid., hlm. 341-353.

[80] Ibid., hlm. 353-368.

[81] Ibid. hlm. 370-371.

[82] Ibid., hlm. 372-389.

[83] Ibid., hlm. 389-406.

[84] Ibid., hlm. 406-414.

[85] Ibid., hlm. 416-421.

[86] Majid Fakhry, Ethics in Islamic Philosophy, http://www.Islamicphilosophy.com, 12 Juli 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar